Minggu, 19 Oktober 2025

🚐 Naik Angkot Kosmis: Dari Ruh ke Dunia

Konon, sebelum nyemplung ke dunia, ruh kita dulu nongkrong asyik di “alam azali” — ngobrol santai sama Allah, janji bakal jadi hamba yang keren, rajin ibadah, dan nggak lupa arah. Tapi begitu lahir ke dunia, semua janji itu hilang seperti nota parkir di saku celana yang masuk mesin cuci.

Lingkungan lalu datang kayak MC lomba karaoke kampung:

“Ayo, kamu harus sukses!”
“Kamu harus viral!”
“Kamu harus punya rumah tiga lantai dan skincare glowing!”

Dan kita pun tumbuh jadi manusia yang sibuk mengejar target hidup versi orang lain. Jiwa tenang yang dulu janji pulang tepat waktu, sekarang malah ikut lomba marathon duniawi — tanpa tahu finish-nya di mana.

🧭 GPS Kehidupan: Arahkan ke “Home”, Bukan ke Mall

Kalau hidup ini perjalanan, maka mengenal diri itu kayak nemu tombol “Home” di GPS. Begitu ditekan, muncul rute menuju “Allah Subhanahu wa Ta’ala”. Tapi masalahnya, banyak yang GPS-nya eror karena sinyal hati lemah — kebanyakan notifikasi duniawi.

Tanpa kenal diri, kita kayak sopir angkot yang muter-muter di ring road sambil teriak:

“Mau ke mana nih, bos?!”

Lucunya, penumpang (baca: hawa nafsu) malah jawab:

“Pokoknya jalan terus, nanti juga sampai!”

Lah, sampai ke mana? Neraka? Atau tempat ngopi 24 jam tanpa promo pulang?

πŸ›ž Ilmu: Kendaraan atau Ban Kempes?

Ilmu itu kendaraan keren buat melaju ke arah yang benar. Tapi hati-hati — ilmu yang bikin sombong itu kayak ban bocor: berisik, tapi nggak jalan-jalan.

Zaman sekarang, banyak “pembalap spiritual” yang baru baca dua artikel di internet udah ngerasa makrifat level platinum. Padahal, kalau di-check GPS-nya, masih muter di parkiran mall kehidupan.

Ilmu sejati justru bikin rendah hati, karena sadar bahwa semua pengetahuan itu cuma pinjaman. Kalau sudah sampai tahap itu, perjalanan hidupmu akan senyap — bukan karena mati mesin, tapi karena sudah tenang di jalur yang benar.

🌍 Dunia: Warung Kopi, Bukan Rumah Permanen

Coba bandingkan manusia dengan kambing.
Kambing nggak pusing mikirin self-improvement, nggak perlu bantal ortopedi, dan nggak pernah galau soal quarter life crisis. Kita yang katanya “makhluk paling cerdas” malah sering stres mikirin hidup, padahal status kita cuma “pendatang sementara”.

Kita bukan “orang asli bumi”. Kita anak rantau dari surga yang lagi magang di dunia.
Jadi wajar kalau kadang hati kita merasa nggak cocok — kayak Wi-Fi lemah di tempat nongkrong.

Surga itu rumah asli kita. Dunia? Ya cuma rest area.
Dan kematian? Itu bukan akhir, bro. Itu tiket pulang kampung — naik bis ruhani ekspres. Cuma, ya, semoga bukan yang salah jurusan.

πŸ§“ Nabi dan Wali: Tour Guide dari Langit

Para nabi dan wali itu kayak tour guide yang sabar banget. Mereka udah bilang, “Eh, jangan kelamaan di warung, nanti ketinggalan bis!” Tapi kita malah jawab, “Sabar dulu dong, lagi selfie nih!”

Mereka cuma pengin kita nggak nyasar. Tapi kita yang kebanyakan filter duniawi malah ngerasa udah expert traveler. Padahal, kalau nggak ditemani pemandu, bisa-bisa kita malah nyebrang ke jurusan yang bukan-bukan.

 Kesimpulan: Ngopi, Tapi Jangan Lupa Pulang

Hidup ini cuma mampir minum, bukan buka kedai. Dunia adalah tempat transit, bukan terminal akhir. Tujuan kita jelas: pulang ke surga.

Jadi, silakan ngopi, silakan kerja, silakan bahagia — tapi jangan sampai lupa bayar tagihan amal.
Karena malaikat itu nggak pakai sistem cashless, tapi semua transaksi tercatat di buku abadi.

Arahkan GPS hati ke jalan pulang, isi bensin iman, dan jangan lupa bawa bekal taqwa.
Kalau semua sudah siap, ayo gaspol — tapi ingat, tujuan akhirnya bukan viral di dunia, tapi diterima di surga.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.