Pernahkah kamu merasa bahwa ayahmu kini lebih sering muncul di grup WhatsApp keluarga daripada di ruang tamu? Ya, selamat datang di era fatherless nation, di mana sosok ayah makin langka—bukan karena punah, tapi karena sibuk meeting sambil mute mic.
Menurut data yang bikin kening berkerut (dan mungkin dompet ikut merinding), ada 15 juta anak Indonesia yang kehilangan figur ayah. Tapi jangan salah, sebagian ayah sebenarnya ada, cuma secara spiritual dan emosional sedang “roaming”. Secara fisik masih di rumah, tapi jiwanya sudah tersedot ke spreadsheet kantor dan notifikasi Slack.
Kalau dulu anak kecil menggambar ayahnya sedang tersenyum di samping ibu, kini banyak yang menggambar “ayah” dalam bentuk laptop terbuka, bertuliskan: “Connecting…”
---
π§♂️ Ayah Zaman Sekarang: Eksis Secara Fisik, Absen Secara Emosional
Ada dua tipe ayah masa kini:
1. Ayah Hilang Sinyal — kerja di luar kota, luar negeri, atau luar jangkauan. Anak-anaknya hafal nomor rekening, tapi lupa suara aslinya.
2. Ayah WiFi Lemot — ada di rumah, tapi lagging secara emosional. Anak bicara soal cita-cita, ayahnya menjawab, “Nanti Papa bahas ya, Papa lagi zoom meeting.”
Fenomena ini bukan cuma drama keluarga, tapi juga potensi bencana sosial. Karena dari ayah yang “hilang sinyal” bisa lahir generasi yang bingung arah—antara mau jadi anak berbakti atau content creator sedih di TikTok.
---
πΌ Penyebabnya? Campuran Antara Sistem, Budaya, dan Paket Data
Kita hidup di dunia di mana work-life balance terdengar
seperti mitos urban. Banyak ayah kerja lebih dari 60 jam seminggu—bahkan ada
yang lebih sering bertemu atasan daripada anak sendiri.
Sementara budaya patriarki bilang, “Tugas ayah itu mencari
nafkah, bukan mengurus anak.”
Padahal, kalau mau jujur, anak juga butuh update firmware emosional, bukan cuma uang saku.
Dan parahnya lagi, beberapa daerah dengan tingkat perceraian tinggi malah ikut menyumbang angka fatherless seperti Gorontalo dan Jawa Barat. Sepertinya bukan cuma jalan tol yang macet, tapi juga komunikasi keluarga.
---
π§ Efek Samping Anak Tanpa Ayah: Dari Minder hingga Baper Profesional
Anak tanpa figur ayah yang hangat bisa tumbuh jadi generasi yang super tangguh—atau super bingung. Mereka bisa jadi orang dewasa yang tegar, tapi dalam hatinya selalu berharap ada yang bilang, “Kamu hebat, Nak.”
Sebagian lagi tumbuh jadi overthinker bersertifikat; setiap
kali gagal, yang disalahkan bukan keadaan, tapi trauma masa kecil.
Dan kalau ditanya soal cita-cita, jawabannya kadang cuma: “Saya pengin punya ayah yang sempat nanya kabar, bukan cuma status presensi sekolah.”
---
π‘ Solusinya? Bukan Sekadar Cuti Ayah, Tapi “Login ke Hati Anak”
Memang perlu kebijakan baru: jam kerja manusiawi, cuti ayah,
dan edukasi tentang peran pengasuhan laki-laki. Tapi di luar itu, yang paling
penting adalah hadir dengan hati, bukan hanya dengan WiFi.
Kalau anak curhat, jangan jawab pakai emotikon “π”. Kalau anak cerita soal main di sekolah, jangan balas dengan, “Papa kirim link motivasi ya.”
Ingat, anak tidak butuh ayah yang sempurna, hanya ayah yang tidak sibuk jadi hero di kantor tapi hilang di rumah.
---
π¬ Epilog: Sinetron Kehidupan yang Butuh Ending Bahagia
Postingan viral @emakjulidd tadi sebenarnya bukan sekadar
konten sedih, tapi cermin nasional:
Bangsa ini tidak kekurangan ayah, hanya kekurangan “waktu ayah.”
Dan kalau dibiarkan, kita mungkin akan melahirkan generasi yang pandai menulis caption “Family First,” tapi tak tahu rasanya makan malam dengan keluarga tanpa gawai.
Jadi, wahai para ayah modern: log out sebentar dari dunia
kerja, login kembali ke hati anakmu.
Sebab masa depan bangsa bukan dibangun di ruang rapat, tapi
di ruang tamu—di antara tawa kecil yang memanggil,
“Yah, main sama aku, yuk?”
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.