Suatu pagi di bulan Oktober 2025, Barack Obama men-twit
sesuatu yang membuat dunia politik internasional berhenti sejenak—bukan karena
ada skandal, tapi karena, yah, beliau masih sopan.
Dalam dunia X (alias Twitter versi midlife crisis), di mana
kebanyakan orang menulis “BREAKING!!” sebelum menulis sesuatu yang sebenarnya
tidak penting, Obama justru menulis,
“I recently sat down with three leaders who are
strengthening democracy in Hungary and Poland. They’re an example for us all.”
Singkat, inspiratif, dan tanpa tanda seru.
Karena memang, kalau sudah pernah memimpin negara adidaya selama dua periode,
kau tak perlu berteriak untuk didengar.
🍵 Diplomasi Kopi dan
Demokrasi
Dalam pertemuan itu, Obama berbincang dengan tiga
alumni Obama Foundation: Zuzanna, Sándor, dan Stefania—tiga nama
yang terdengar seperti trio band indie Eropa Timur yang albumnya berjudul Songs
Against Authoritarianism.
Mereka berbicara tentang bagaimana caranya menjaga demokrasi
di tengah badai otoritarianisme, korupsi, dan algoritma media sosial yang lebih
cepat menyebarkan hoaks daripada surat cinta.
Di sinilah keahlian Obama muncul: ia membuat percakapan tentang korupsi
terdengar seperti ajakan piknik intelektual.
“Democracy,” katanya, “isn’t something you inherit, it’s
something you protect.”
Dan semua orang di ruangan itu pasti mengangguk dalam bahasa moral universal.
🕵️♂️ Hungary dan
Polandia: Dua Negara, Satu Drama Politik
Kalau demokrasi adalah tanaman, maka di Hongaria ia tumbuh
di tanah berbatu, dengan Viktor Orbán memegang gunting pemangkas yang agak
bersemangat.
Sementara di Polandia, demokrasi baru saja keluar dari masa karantina politik
setelah pemerintahan sebelumnya—dan kini berusaha tumbuh kembali, meskipun
kadang masih bingung arah sinar mataharinya.
Zuzanna dari Polandia berjuang lewat kebijakan publik dan
hak sipil; Sándor di Hongaria mengawasi korupsi (mungkin sudah hafal
siapa-siapa saja yang ngopi pakai uang rakyat), dan Stefania sibuk
memastikan masyarakat sipil tetap punya suara—walau kadang suara itu hanya
berupa “tolong, internet kami disensor.”
💬 Twit yang Lebih
Diplomatik dari Kartu Ucapan Natal
Di tengah jagat maya yang penuh dengan twit-twit
debat, cancel culture, dan teori konspirasi berbasis font kapital
semua, twit Obama ini seperti hembusan angin sejuk dari masa lalu—era di mana
orang masih percaya bahwa kata “together” bisa berarti lebih dari sekadar tren
hashtag.
Dan tentu saja, tautan ke artikel Obama Foundation
disertakan, karena di zaman ini, tanpa tautan ke foundation,
inspirasi hanyalah angin lalu tanpa potensi donasi.
⚖️ Dari Washington ke Warsaw:
Demokrasi ala Soft Power
Bisa dibilang, twit ini adalah bentuk soft power yang
paling halus.
Bukan ancaman, bukan sanksi ekonomi, tapi ajakan untuk membaca artikel di situs
yayasan yang tampilannya minimalis dan penuh foto hitam-putih yang memberi
kesan “kita sedang menyelamatkan dunia dengan tenang.”
Namun di balik itu, ada pesan serius: demokrasi sedang
digerogoti dari dalam—oleh propaganda, polarisasi, dan kadang, oleh rasa malas
memilih di hari pemilu.
Obama tampaknya tahu, bahwa mempertahankan demokrasi tidak cukup dengan debat
di parlemen, tapi juga perlu... thread di X.
🌍 Akhir Kata: Demokrasi,
Kopi, dan Ketulusan
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari twit ini?
Pertama, bahwa bahkan setelah tidak menjabat, Obama masih punya kemampuan untuk
membuat tiga hal:
- Dunia
berpikir,
- Dunia
tersenyum,
- Dan
dunia mengklik tautan ke obama.org tanpa merasa dipaksa.
Kedua, bahwa demokrasi ternyata seperti tanaman hias: harus
disiram terus, tidak bisa cuma difoto lalu ditinggal.
Dan terakhir — di tengah dunia yang makin bising dengan politik yang berisik,
mungkin yang kita butuhkan memang bukan pemimpin baru, tapi twit yang
tenang dan penuh makna seperti dari @BarackObama.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.