Kalau ada lomba dunia tentang siapa bangsa yang paling kreatif mengolah makanan sederhana jadi kuliner luar biasa, Indonesia pasti juara. Bayangkan, dari singkong bisa jadi getuk, dari tempe bisa jadi steak, bahkan dari Indomie bisa jadi “fusion food” ala chef internasional (asal ditaruh di piring putih besar dengan saus zig-zag tipis).
Tapi di balik kreativitas itu, ada fakta yang bikin perut
keroncongan sekaligus dompet menipis: orang Indonesia rata-rata menghabiskan
50% sampai 70% pendapatan bulanan hanya untuk makan. Artinya, kalau gaji Rp
2 juta, Rp 1,4 juta sudah habis buat beli beras, minyak, dan cabe. Sisanya? Ya
buat utang pulsa dan cicilan motor.
1. Realitas Rumah Tangga: Antara Perut dan Pertimbangan
Filosofis
Bagi keluarga kecil di kampung, ekonomi rumah tangga itu
simpel:
- Hari
ini makan apa?
- Besok
makan apa?
- Lusa…
semoga masih bisa makan.
Naiknya harga beras bisa bikin orang lebih galau daripada
ditinggal pacar. Bahkan ada yang bilang, kalau minyak goreng langka, suasana
dapur bisa berubah jadi seminar nasional dengan tema “Krisis Identitas Ibu
Rumah Tangga”.
Strategi bertahan hidup pun kreatif: lauk ayam dikurangi,
ikan asin dipotong setengah, sambel ditambah setoples air biar kelihatan
banyak. Orang Indonesia memang jenius—kalau ada Nobel kategori “Survival Gizi”,
mungkin tiap tahun kita menang.
2. Tantangan Sistem Pangan: Drama Logistik ala Sinetron
Harga pangan di Indonesia sering kayak sinetron: penuh drama
dan misteri. Di Jakarta cabe bisa Rp 50 ribu, tapi di kampung penghasil cabe,
bisa Rp 10 ribu. Padahal jalannya cuma 6 jam pakai truk. Entah kenapa cabe itu
kalau naik truk suka kena inflasi duluan sebelum sampai pasar.
Belum lagi soal impor. Begitu harga gula naik, pemerintah
langsung impor. Jadi rakyat kadang bingung: ini kita negara agraris atau negara
“hobi belanja online pangan internasional”?
Petani juga sering kayak pahlawan tanpa pamrih: kerja keras,
hasil panen melimpah, tapi yang untung justru tengkulak. Seolah-olah sistem
pangan kita punya motto: “Petani menanam, rakyat membeli, tengkulak bahagia.”
3. Implikasi: Dari Perut Sampai Pendidikan
Kalau 70% gaji habis buat makan, sisanya jelas nggak cukup
buat hal lain. Pendidikan anak jadi ala kadarnya: les tambahan cuma lewat
YouTube, buku bacaan diganti koran bekas, tabungan masa depan cukup dalam
bentuk celengan ayam.
Ironisnya, semakin rakyat tertekan soal pangan, semakin
sering muncul jargon “ketahanan pangan”. Padahal bagi banyak keluarga,
ketahanan pangan artinya sederhana: kalau hari ini bisa masak nasi plus lauk,
itu sudah “survive like a hero.”
4. Kebijakan dan Solusi: Dari Serius sampai Satir
Pemerintah biasanya kasih solusi yang kelihatan canggih:
- Efisiensi
distribusi pangan – yang entah artinya apa selain membuat harga cabe
dari Rp 50 ribu jadi Rp 48 ribu (masih tetap pedas di dompet).
- Diversifikasi
pangan – kampanye makan sorgum, singkong, atau jagung. Tapi rakyat
tetap nyari nasi, karena kalau belum makan nasi rasanya kayak “belum makan
walau sudah kenyang.”
- Subsidi
tepat sasaran – yang seringkali sasarannya agak melenceng, mirip
tukang panahan yang lagi ngantuk.
- Digitalisasi
petani – bagus idenya, asal jangan sampai nanti petani lebih sibuk
update status di marketplace daripada ngurus sawah.
Penutup: Pangan Itu Serius, Tapi Bisa Dibikin Satir
Beban pangan di Indonesia itu nyata. Tapi kalau kita lihat
dengan kacamata humor, kondisi ini juga menunjukkan betapa kuatnya rakyat
bertahan hidup di tengah ekonomi yang penuh drama. Orang Indonesia terbiasa
menertawakan nasib sendiri, termasuk saat dompet menipis gara-gara harga beras
naik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.