Sabtu, 04 Oktober 2025

“Beban Pangan, Beban Perut, dan Beban Pikiran Orang Indonesia”

Kalau ada lomba dunia tentang siapa bangsa yang paling kreatif mengolah makanan sederhana jadi kuliner luar biasa, Indonesia pasti juara. Bayangkan, dari singkong bisa jadi getuk, dari tempe bisa jadi steak, bahkan dari Indomie bisa jadi “fusion food” ala chef internasional (asal ditaruh di piring putih besar dengan saus zig-zag tipis).

Tapi di balik kreativitas itu, ada fakta yang bikin perut keroncongan sekaligus dompet menipis: orang Indonesia rata-rata menghabiskan 50% sampai 70% pendapatan bulanan hanya untuk makan. Artinya, kalau gaji Rp 2 juta, Rp 1,4 juta sudah habis buat beli beras, minyak, dan cabe. Sisanya? Ya buat utang pulsa dan cicilan motor.

1. Realitas Rumah Tangga: Antara Perut dan Pertimbangan Filosofis

Bagi keluarga kecil di kampung, ekonomi rumah tangga itu simpel:

  • Hari ini makan apa?
  • Besok makan apa?
  • Lusa… semoga masih bisa makan.

Naiknya harga beras bisa bikin orang lebih galau daripada ditinggal pacar. Bahkan ada yang bilang, kalau minyak goreng langka, suasana dapur bisa berubah jadi seminar nasional dengan tema “Krisis Identitas Ibu Rumah Tangga”.

Strategi bertahan hidup pun kreatif: lauk ayam dikurangi, ikan asin dipotong setengah, sambel ditambah setoples air biar kelihatan banyak. Orang Indonesia memang jenius—kalau ada Nobel kategori “Survival Gizi”, mungkin tiap tahun kita menang.

2. Tantangan Sistem Pangan: Drama Logistik ala Sinetron

Harga pangan di Indonesia sering kayak sinetron: penuh drama dan misteri. Di Jakarta cabe bisa Rp 50 ribu, tapi di kampung penghasil cabe, bisa Rp 10 ribu. Padahal jalannya cuma 6 jam pakai truk. Entah kenapa cabe itu kalau naik truk suka kena inflasi duluan sebelum sampai pasar.

Belum lagi soal impor. Begitu harga gula naik, pemerintah langsung impor. Jadi rakyat kadang bingung: ini kita negara agraris atau negara “hobi belanja online pangan internasional”?

Petani juga sering kayak pahlawan tanpa pamrih: kerja keras, hasil panen melimpah, tapi yang untung justru tengkulak. Seolah-olah sistem pangan kita punya motto: “Petani menanam, rakyat membeli, tengkulak bahagia.”

3. Implikasi: Dari Perut Sampai Pendidikan

Kalau 70% gaji habis buat makan, sisanya jelas nggak cukup buat hal lain. Pendidikan anak jadi ala kadarnya: les tambahan cuma lewat YouTube, buku bacaan diganti koran bekas, tabungan masa depan cukup dalam bentuk celengan ayam.

Ironisnya, semakin rakyat tertekan soal pangan, semakin sering muncul jargon “ketahanan pangan”. Padahal bagi banyak keluarga, ketahanan pangan artinya sederhana: kalau hari ini bisa masak nasi plus lauk, itu sudah “survive like a hero.”

4. Kebijakan dan Solusi: Dari Serius sampai Satir

Pemerintah biasanya kasih solusi yang kelihatan canggih:

  1. Efisiensi distribusi pangan – yang entah artinya apa selain membuat harga cabe dari Rp 50 ribu jadi Rp 48 ribu (masih tetap pedas di dompet).
  2. Diversifikasi pangan – kampanye makan sorgum, singkong, atau jagung. Tapi rakyat tetap nyari nasi, karena kalau belum makan nasi rasanya kayak “belum makan walau sudah kenyang.”
  3. Subsidi tepat sasaran – yang seringkali sasarannya agak melenceng, mirip tukang panahan yang lagi ngantuk.
  4. Digitalisasi petani – bagus idenya, asal jangan sampai nanti petani lebih sibuk update status di marketplace daripada ngurus sawah.

Penutup: Pangan Itu Serius, Tapi Bisa Dibikin Satir

Beban pangan di Indonesia itu nyata. Tapi kalau kita lihat dengan kacamata humor, kondisi ini juga menunjukkan betapa kuatnya rakyat bertahan hidup di tengah ekonomi yang penuh drama. Orang Indonesia terbiasa menertawakan nasib sendiri, termasuk saat dompet menipis gara-gara harga beras naik.

Mungkin, kalau ada definisi baru tentang kesejahteraan nasional, bisa dirumuskan begini:
“Bangsa sejahtera adalah bangsa yang bisa makan tiga kali sehari tanpa harus berutang, dan masih punya sisa uang buat beli es teh manis di warung.”
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.