Tahukah Anda ajaran agama apa yang paling sering disampaikan
dengan nada paling manis tapi tujuan paling curang?Jawabannya bukan ikhlaslah dalam beribadah, bukan pula sabar itu
indah — tapi hormatilah gurumu!
Dan yang paling rajin bilang begitu biasanya siapa? Ya… gurunya sendiri. π
Padahal, kata Hasyim Muhammad, ajaran menghormati guru itu
bukan tugas guru untuk mengajarkannya. Karena begitu guru bilang “Kalian
harus hormat sama guru!”, hawa-hawanya langsung berubah dari pengajaran
jadi promosi diri.
Sama kayak orang jualan yang bilang “Produk saya bagus banget, percaya deh!”
— percaya boleh, tapi curiga juga boleh.
Kalau mau adil, biarkan orang tua dan masyarakat yang
mengajarkan anak-anak untuk menghormati gurunya.
Begitu juga sebaliknya: kalau guru yang menyampaikan ajaran “hormatilah
orang tuamu”, itu baru elegan — karena tidak ada kepentingan pribadi di
situ.
Nah, logika sederhana ini bisa diperluas. Misalnya, kalau
ibu bilang,
“Nak, kamu kalau nggak nurut sama ibu, nanti masuk neraka!”
itu sudah bukan ajaran agama, itu ancaman spiritual dengan bumbu domestik. π¬
Harusnya ayah yang bilang begitu — supaya adil.
Sama seperti suami yang tiba-tiba berkata dengan nada ustaz
kampung:
“Sayang, kamu kan tahu... menurut ajaran agama, istri itu
harus taat sama suami.”
Lha, ini suami lagi menyampaikan ilmu atau lagi mencari cara halus supaya nggak
disuruh cuci piring?
Begitulah. Ajaran tentang menghormati, menaati, dan
menyayangi, sebaiknya tidak datang dari pihak yang kebetulan diuntungkan
oleh ajaran itu. Karena kalau iya, bentuknya jadi mirip dakwah yang agak licin
— seperti sabun mandi spiritual.
Contoh Takdir yang “Tak Pantas”
Kata Hasyim, ada juga jenis ajaran yang tidak pantas
disampaikan oleh pihak tertentu, walau isi ajarannya benar. Misalnya soal takdir.
Bayangkan:
Anda sedang berduka karena anak Anda tertimpa reruntuhan, lalu datanglah
seseorang — yang ternyata penyebab reruntuhan itu — sambil bilang,
“Sabar ya, Bu. Semua ini sudah takdir Allah.”
Lha, enak banget!
Kalau begitu, maling sandal di masjid juga bisa bilang,
“Maaf Pak, ini sandal memang sudah ditakdirkan jadi rezeki saya.” π
Ajaran tentang takdir memang benar, tapi kalau disampaikan
oleh orang yang berperan dalam musibahnya, itu bukan nasihat — itu
kamuflase dosa.
Contoh Maaf yang Menyebalkan
Contoh kedua: seseorang memukul temannya sampai lebam, lalu
dengan suara lembut mengutip Al-Qur’an,
“Kita ini harus bisa memaafkan kesalahan orang lain,
sebagaimana di Surat Ali Imran ayat 134.”
Wah, kalau begitu logikanya bisa diperluas:
koruptor tinggal bilang,
“Tolong maafkan, ya. Allah mencintai orang yang memaafkan.”
Sambil bawa koper berisi uang rakyat.
Padahal esensi ayat itu adalah memaafkan dari hati yang
bersih, bukan memanipulasi orang supaya tak marah. Kalau pelaku
kesalahan yang bilang begitu, itu bukan dakwah — itu siasat berdalil.
Adab Sebelum Dalil
Makanya, Islam mengajarkan adab sebelum ilmu.
Sebelum sibuk mengutip ayat dan hadis, pastikan dulu posisi kita benar.
Kalau bersalah, ya minta maaf.
Kalau bikin orang susah, jangan malah ngajak korban berzikir bersama sambil
bilang “ini semua kehendak Allah.”
Karena sering kali, yang bikin agama terlihat kaku dan lucu
bukan isinya — tapi cara orang memakainya untuk menutupi kepentingan pribadi.
Kesimpulan yang (Agak) Serius
Jadi, pelajaran hari ini sederhana:
- Jangan
ajarkan “hormati guru” kalau Anda gurunya.
- Jangan
ajarkan “taati suami” kalau Anda suaminya.
- Jangan
ajarkan “memaafkan orang lain” kalau Anda pelakunya.
- Dan
jangan bilang “ini takdir” kalau Anda penyebabnya.
Biarkan yang berhak menyampaikan, menyampaikan.
Karena kalau tidak, agama berubah jadi cermin narsistik — setiap ayat dibaca
bukan untuk memperbaiki diri, tapi untuk membenarkan posisi.
Dan pada akhirnya, sebagaimana pepatah lama berkata (yang
seharusnya disampaikan oleh murid kepada gurunya, bukan sebaliknya):
“Dahulukan adab sebelum ilmu — apalagi sebelum status.”
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.