Minggu, 05 Oktober 2025

Bukan Masalah Takdirnya (Versi Jenaka yang Nyengat Iman dan Logika)

Tahukah Anda ajaran agama apa yang paling sering disampaikan dengan nada paling manis tapi tujuan paling curang?

Jawabannya bukan ikhlaslah dalam beribadah, bukan pula sabar itu indah — tapi hormatilah gurumu!
Dan yang paling rajin bilang begitu biasanya siapa? Ya… gurunya sendiri. 😏

Padahal, kata Hasyim Muhammad, ajaran menghormati guru itu bukan tugas guru untuk mengajarkannya. Karena begitu guru bilang “Kalian harus hormat sama guru!”, hawa-hawanya langsung berubah dari pengajaran jadi promosi diri.
Sama kayak orang jualan yang bilang “Produk saya bagus banget, percaya deh!” — percaya boleh, tapi curiga juga boleh.

Kalau mau adil, biarkan orang tua dan masyarakat yang mengajarkan anak-anak untuk menghormati gurunya.
Begitu juga sebaliknya: kalau guru yang menyampaikan ajaran “hormatilah orang tuamu”, itu baru elegan — karena tidak ada kepentingan pribadi di situ.

Nah, logika sederhana ini bisa diperluas. Misalnya, kalau ibu bilang,

“Nak, kamu kalau nggak nurut sama ibu, nanti masuk neraka!”
itu sudah bukan ajaran agama, itu ancaman spiritual dengan bumbu domestik. 😬
Harusnya ayah yang bilang begitu — supaya adil.

Sama seperti suami yang tiba-tiba berkata dengan nada ustaz kampung:

“Sayang, kamu kan tahu... menurut ajaran agama, istri itu harus taat sama suami.”
Lha, ini suami lagi menyampaikan ilmu atau lagi mencari cara halus supaya nggak disuruh cuci piring?

Begitulah. Ajaran tentang menghormati, menaati, dan menyayangi, sebaiknya tidak datang dari pihak yang kebetulan diuntungkan oleh ajaran itu. Karena kalau iya, bentuknya jadi mirip dakwah yang agak licin — seperti sabun mandi spiritual.

Contoh Takdir yang “Tak Pantas”

Kata Hasyim, ada juga jenis ajaran yang tidak pantas disampaikan oleh pihak tertentu, walau isi ajarannya benar. Misalnya soal takdir.

Bayangkan:
Anda sedang berduka karena anak Anda tertimpa reruntuhan, lalu datanglah seseorang — yang ternyata penyebab reruntuhan itu — sambil bilang,

“Sabar ya, Bu. Semua ini sudah takdir Allah.”
Lha, enak banget!
Kalau begitu, maling sandal di masjid juga bisa bilang,
“Maaf Pak, ini sandal memang sudah ditakdirkan jadi rezeki saya.” πŸ˜…

Ajaran tentang takdir memang benar, tapi kalau disampaikan oleh orang yang berperan dalam musibahnya, itu bukan nasihat — itu kamuflase dosa.

Contoh Maaf yang Menyebalkan

Contoh kedua: seseorang memukul temannya sampai lebam, lalu dengan suara lembut mengutip Al-Qur’an,

“Kita ini harus bisa memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana di Surat Ali Imran ayat 134.”
Wah, kalau begitu logikanya bisa diperluas:
koruptor tinggal bilang,
“Tolong maafkan, ya. Allah mencintai orang yang memaafkan.”
Sambil bawa koper berisi uang rakyat.

Padahal esensi ayat itu adalah memaafkan dari hati yang bersih, bukan memanipulasi orang supaya tak marah. Kalau pelaku kesalahan yang bilang begitu, itu bukan dakwah — itu siasat berdalil.

Adab Sebelum Dalil

Makanya, Islam mengajarkan adab sebelum ilmu.
Sebelum sibuk mengutip ayat dan hadis, pastikan dulu posisi kita benar.
Kalau bersalah, ya minta maaf.
Kalau bikin orang susah, jangan malah ngajak korban berzikir bersama sambil bilang “ini semua kehendak Allah.”

Karena sering kali, yang bikin agama terlihat kaku dan lucu bukan isinya — tapi cara orang memakainya untuk menutupi kepentingan pribadi.

Kesimpulan yang (Agak) Serius

Jadi, pelajaran hari ini sederhana:

  • Jangan ajarkan “hormati guru” kalau Anda gurunya.
  • Jangan ajarkan “taati suami” kalau Anda suaminya.
  • Jangan ajarkan “memaafkan orang lain” kalau Anda pelakunya.
  • Dan jangan bilang “ini takdir” kalau Anda penyebabnya.

Biarkan yang berhak menyampaikan, menyampaikan.
Karena kalau tidak, agama berubah jadi cermin narsistik — setiap ayat dibaca bukan untuk memperbaiki diri, tapi untuk membenarkan posisi.

Dan pada akhirnya, sebagaimana pepatah lama berkata (yang seharusnya disampaikan oleh murid kepada gurunya, bukan sebaliknya):

“Dahulukan adab sebelum ilmu — apalagi sebelum status.”

abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.