Kalau kebanyakan orang mengira demokrasi itu semacam mesin canggih dengan tombol “ON” dan “OFF” yang bisa bikin rakyat bahagia otomatis, Jacques Rancière datang dan bilang: “Eits, salah besar, Bung!”
Bagi beliau, demokrasi itu lebih mirip grup WhatsApp keluarga: selalu
rame, kadang nggak nyambung, sering ribut, tapi justru di situlah letak
kehidupan.
Demokrasi Itu Aksi, Bukan Setting-an
Rancière bilang, demokrasi bukanlah sistem yang tinggal
pakai kayak AC di ruang tamu DPR. Demokrasi itu aksi. Ia lahir dari orang-orang
yang biasanya dianggap “nggak punya hak bicara”—alias si the uncounted.
Dalam versi kita, mereka ini seperti admin grup yang biasanya cuma disuruh
diam, tapi suatu hari ngegas dan bilang:
“Eh, jangan asal share hoax, dong! Yang lain juga mau
ngomong!”
Dan boom—tatanan lama pun terguncang.
Tegangan Abadi: Kepentingan Umum vs. Nafsu Privat
Kalau di Indonesia, kita sering lihat politisi bilang “ini
demi rakyat,” tapi ternyata “demi rekening juga.” Artikel ini mengingatkan
bahwa politik sering kali bukan soal konsensus, melainkan soal siapa yang lebih
jago debat ala “senggol bacok” di TV.
Rancière justru senang sama yang namanya “perselisihan.”
Karena tanpa ribut-ribut, demokrasi itu akan terasa seperti sinetron tanpa
konflik: membosankan, dan rating jeblok.
Hukum: Pelindung atau Tukang Bungkam?
Nah, ini bagian yang agak serem tapi bisa kita bikin kocak.
Hukum seharusnya jadi pelindung rakyat, tapi kadang malah berubah jadi speaker
yang dipasang di masjid:
- Volume
terlalu keras, isinya sepihak,
- dan
kalau ada yang komplain, jawabannya: “Ini kan aturan!”
Padahal, kata Rancière, hukum itu harus transparan dan
partisipatif. Kalau enggak, yang terjadi adalah “pemaksaan kehendak”—alias
kayak dipaksa ikut joget TikTok padahal nggak mau.
Indonesia: Drama Bersambung
Kalau ada serial “Democracy the Series,” Indonesia pasti
masuk kategori season panjang. Dari reformasi, pemilu, drama koalisi,
sampai ribut di media sosial, semuanya menunjukkan demokrasi kita masih “work
in progress.”
Rancière bakal bilang: “Bagus! Jangan cepat puas!” Karena
demokrasi sejati itu bukan tujuan akhir, melainkan kayak serial One Piece:
nggak ada tamatnya, selalu ada episode baru, dan kadang penonton bingung kenapa
belum kelar-kelar juga.
Penutup: Demokrasi Itu Mirip Kopi
Kesimpulannya? Demokrasi menurut Rancière itu ibarat kopi:
- Kadang
pahit,
- sering
bikin melek,
- tapi
kalau nggak ada, kepala pusing semua.
Maka, mari rawat demokrasi kita. Jangan cuma puas karena ada
kotak suara tiap lima tahun, tapi pastikan juga suara-suara kecil tidak
tenggelam. Karena siapa tahu, justru dari suara kecil itu lahir ide
besar—kayak WiFi gratis, jalan tol tanpa macet, atau DPR yang kerja tepat waktu
(oke, yang terakhir agak mustahil).
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.