Rabu, 01 Oktober 2025

Demokrasi Versi Rancière: Pertarungan Abadi Antara Mic, Speaker, dan Orang yang Selalu Muted

Kalau kebanyakan orang mengira demokrasi itu semacam mesin canggih dengan tombol “ON” dan “OFF” yang bisa bikin rakyat bahagia otomatis, Jacques Rancière datang dan bilang: “Eits, salah besar, Bung!”

Bagi beliau, demokrasi itu lebih mirip grup WhatsApp keluarga: selalu rame, kadang nggak nyambung, sering ribut, tapi justru di situlah letak kehidupan.


Demokrasi Itu Aksi, Bukan Setting-an

Rancière bilang, demokrasi bukanlah sistem yang tinggal pakai kayak AC di ruang tamu DPR. Demokrasi itu aksi. Ia lahir dari orang-orang yang biasanya dianggap “nggak punya hak bicara”—alias si the uncounted. Dalam versi kita, mereka ini seperti admin grup yang biasanya cuma disuruh diam, tapi suatu hari ngegas dan bilang:

“Eh, jangan asal share hoax, dong! Yang lain juga mau ngomong!”

Dan boom—tatanan lama pun terguncang.

Tegangan Abadi: Kepentingan Umum vs. Nafsu Privat

Kalau di Indonesia, kita sering lihat politisi bilang “ini demi rakyat,” tapi ternyata “demi rekening juga.” Artikel ini mengingatkan bahwa politik sering kali bukan soal konsensus, melainkan soal siapa yang lebih jago debat ala “senggol bacok” di TV.

Rancière justru senang sama yang namanya “perselisihan.” Karena tanpa ribut-ribut, demokrasi itu akan terasa seperti sinetron tanpa konflik: membosankan, dan rating jeblok.

Hukum: Pelindung atau Tukang Bungkam?

Nah, ini bagian yang agak serem tapi bisa kita bikin kocak. Hukum seharusnya jadi pelindung rakyat, tapi kadang malah berubah jadi speaker yang dipasang di masjid:

  • Volume terlalu keras, isinya sepihak,
  • dan kalau ada yang komplain, jawabannya: “Ini kan aturan!”

Padahal, kata Rancière, hukum itu harus transparan dan partisipatif. Kalau enggak, yang terjadi adalah “pemaksaan kehendak”—alias kayak dipaksa ikut joget TikTok padahal nggak mau.

Indonesia: Drama Bersambung

Kalau ada serial “Democracy the Series,” Indonesia pasti masuk kategori season panjang. Dari reformasi, pemilu, drama koalisi, sampai ribut di media sosial, semuanya menunjukkan demokrasi kita masih “work in progress.”

Rancière bakal bilang: “Bagus! Jangan cepat puas!” Karena demokrasi sejati itu bukan tujuan akhir, melainkan kayak serial One Piece: nggak ada tamatnya, selalu ada episode baru, dan kadang penonton bingung kenapa belum kelar-kelar juga.

Penutup: Demokrasi Itu Mirip Kopi

Kesimpulannya? Demokrasi menurut Rancière itu ibarat kopi:

  • Kadang pahit,
  • sering bikin melek,
  • tapi kalau nggak ada, kepala pusing semua.

Maka, mari rawat demokrasi kita. Jangan cuma puas karena ada kotak suara tiap lima tahun, tapi pastikan juga suara-suara kecil tidak tenggelam. Karena siapa tahu, justru dari suara kecil itu lahir ide besar—kayak WiFi gratis, jalan tol tanpa macet, atau DPR yang kerja tepat waktu (oke, yang terakhir agak mustahil).

abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.