Pernahkah Anda merasa hidup ini seperti sinetron tanpa jeda iklan? Bedanya, bukan Indosiar yang memproduksi, tapi lingkungan sosial kita sendiri—lengkap dengan gosip, drama, dan plot twist yang bikin mikir, “Ini dunia nyata apa konten TikTok?” Nah, itulah yang disebut budaya toxic.
Masalahnya, banyak orang menganggap budaya toxic itu lumrah,
seolah-olah satu paket dengan KTP. Padahal, kalau dibiarkan, dampaknya bisa
bikin mental jungkir balik, hubungan sosial hancur, sampai tubuh berasa baterai
HP jadul: cepat panas, cepat habis, dan sering error.
Mari kita bongkar isi “paket toxic premium” ini:
1. Gosip dan Fitnah: Netflix Gratis Versi Kampung
Orang bilang gosip itu hiburan. Ya, hiburan untuk siapa?
Untuk yang ngomong, bukan yang digosipin. Bedanya, kalau nonton drama Korea
masih bisa pause buat makan Indomie, gosip biasanya auto nyebar 24 jam
non-stop. Privasi orang jadi tontonan umum, padahal CCTV aja ada batasan jam
rekamnya.
2. Mengecilkan Perasaan Orang Lain: “Drama Queen” Mode ON
Ada orang curhat sedih, eh dijawab, “Ah, cuma gitu aja?”
atau “Jangan lebay!” Lah, kalau begitu, besok orang patah hati mungkin disuruh
minum Bodrex aja kali biar sembuh. Padahal, emosi itu bukan pertandingan
olimpiade—nggak ada medali emas untuk “siapa yang paling menderita.”
3. Ekspektasi Aneh untuk Wanita dan Pria: Standar Hidup
atau Standar Sinetron?
Wanita dituntut selalu lembut kayak tisu, pria dituntut
keras kayak tembok. Hasilnya? Banyak orang hidupnya kayak cosplay: perempuan
pura-pura kalem padahal pengen marah, pria pura-pura tegar padahal dalam hati
nangis kayak habis kehilangan ayam goreng terakhir.
4. Budaya Lembur: Ngantor 24/7 Edition
Dianggap keren kalau kerja tanpa tidur. Padahal, manusia itu
bukan powerbank. Kalau terus-terusan dipaksa nyala, nanti bukan produktif, tapi
overheat. Ironisnya, lembur dianggap tanda cinta perusahaan, padahal kadang
perusahaan nggak balik cinta—apalagi kasih THR lebih.
5. Gaslighting: Kombo Cheat Code Hubungan
Gaslighting itu kayak main game tapi lawannya pakai cheat.
Misalnya, habis bikin salah, dia bilang, “Kamu terlalu sensitif.” Lah, padahal
jelas-jelas sakit hati. Kalau begini terus, korban bisa mikir, “Mungkin aku
yang salah?” Padahal yang salah ya jelas, si tukang cheat tadi.
6. Mengorbankan Diri: Versi Gratisan dari “Superhero”
Baik sih membantu orang lain, tapi kalau setiap saat Anda
jadi supir cadangan, tukang pijet darurat, atau ATM berjalan, lama-lama bukan
superhero, tapi “super-lelah.” Batasan itu penting, supaya hidup nggak berubah
jadi film Marvel tanpa budget.
7. Body Shaming: Candaan atau Sabun Cuci Piring?
Katanya sih bercanda, tapi kok bikin sakit hati? “Eh,
badanmu gendutan ya, kayak donat isi.” Lah, siapa suruh bandingin manusia sama
gorengan? Candaan body shaming itu kayak sabun cuci piring: bisa bikin licin
suasana, tapi kalau kena mata perih banget.
Penutup: Hidup Bukan Konten Drama
Budaya toxic itu bukan bawaan lahir, melainkan kebiasaan
yang dibikin manusia. Kalau kita kompak menolak—alias uninstall aplikasi drama
gratisan ini—hidup bisa jadi lebih sehat, damai, dan nggak kayak reality show
murahan yang ratingnya dipaksain naik.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.