Konon katanya, 2025 adalah tahun keemasan gizi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) — sebuah ide brilian agar anak-anak Indonesia tumbuh sehat, kuat, dan tidak lagi berpikir bahwa sayur adalah ancaman.
Dengan anggaran Rp 71 triliun (iya, triliun, bukan
porsi nasi padang), negara bertekad memberi makan 82,9 juta rakyat.
Kalau dibagi rata, tiap sendok nasi itu bisa dicetak emas. Tapi, seperti biasa,
dalam dunia politik Indonesia, nasi gratis sering datang bersama sambal
birokrasi.
π± Dari Dapur Negara ke
Dapur Gosip
Pengelolaan MBG dipercayakan ke Badan Gizi Nasional (BGN),
yang dibantu oleh lembaga mitra bernama SPPG — Satuan Pelayanan Pemenuhan
Gizi. Nama yang keren, meski fungsinya kadang lebih mirip Satuan
Pelengkap Pusing Gizi.
Soalnya, kabarnya mitra-mitra dapur ini dipilih bukan karena
jago masak, tapi karena jago kenalan. Transparency International sampai
curiga: “Kok banyak yayasan pengelola yang punya hubungan dekat dengan
politisi, militer, dan polisi?”
Mungkin mereka pikir, kalau anak-anak kenyang, aparat juga senang.
Dan soal rekrutmen mitra, ada cerita lucu (kalau tidak
tragis): beberapa calon mitra mengaku harus “setor” ratusan juta rupiah biar
bisa punya dapur sendiri.
Singkatnya, di MBG, yang bergizi bukan makanannya — tapi punglinya.
π Menu Utama: Keracunan
Nasional
Program Makan Bergizi Gratis ternyata punya efek samping: Makan
Beracun Gratis.
Data menunjukkan lebih dari 6.000 kasus keracunan dari Sabang sampai
Lebong. Menu spesialnya? Nasi basi dengan topping E. coli, salad Salmonella,
dan sup Staphylococcus aureus — semua organic, locally sourced,
dan penuh pengalaman spiritual.
Anak-anak di Tasikmalaya, PALI, hingga Bengkulu jadi korban.
Orang tua mulai trauma.
Kata seorang ibu, “Saya pikir makan gratis itu berkah. Ternyata paket ‘gratis
plus mual-mual’.”
Sejak itu, banyak anak membawa bekal sendiri — dan negara kembali ke era tupperware
independence.
πΌ Audit, Hotel, dan Drama
ala BGN
Tentu BGN tidak diam. Mereka cepat memberi klarifikasi:
“Verifikasi mitra dilakukan ketat, bahkan tim kami menginap di hotel
berbeda-beda untuk menghindari intervensi!”
Menarik. Kalau verifikatornya lebih sering pindah hotel
daripada memeriksa dapur, jangan-jangan yang sehat itu justru ekonomi
perhotelan.
Lucunya lagi, BGN membantah isu “5.000 dapur fiktif”. Katanya bukan dapurnya
yang fiktif, cuma nomor ID-nya yang diperjualbelikan.
Ya, mirip-mirip jual beli SIM, tapi versi gizi.
π Rekomendasi dari Rakyat
Jelata
Organisasi seperti ICW dan Transparency International
menyerukan moratorium. Tapi rakyat punya versi sendiri: “moratorium
sambil bawa bekal dari rumah.”
Mereka juga memberi saran: bikin Peraturan Presiden, awasi pengadaan bahan, dan
audit berkala.
Tapi yah… di negeri ini, audit kadang seperti sayur bening: jernih di
permukaan, tapi isinya daun-daun misterius.
π₯ Penutup: Antara Niat
Baik dan Panci Bocor
Sebenarnya, niat MBG itu mulia. Siapa sih yang nggak mau
anak Indonesia tumbuh sehat, pintar, dan berenergi?
Tapi program ini seperti masakan besar yang dimasak tanpa resep: bahan bagus,
tapi koki rebutan sendok.
Akibatnya, yang kenyang bukan anak-anak, tapi birokrasi.
Kalau tak segera diperbaiki, MBG bisa berubah dari “Makan
Bergizi Gratis” menjadi “Makan Biaya Gede”.
Dan seperti kata pepatah dapur: jangan harap gizi naik kalau integritas
turun.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.