Hidup ini, kalau dipikir-pikir, mirip seperti nonton sinetron religi menjelang buka puasa — penuh drama, kadang mengharukan, kadang absurd. Bedanya, di dunia nyata, kita semua main di episodenya, tapi jarang sadar kalau kamera sudah rolling.
Setiap hari kita diserbu informasi, opini, dan nasihat dari segala arah: dari teman nongkrong, ustaz di TikTok, sampai notifikasi "motivasi Islami" yang muncul di tengah video kucing. Lama-lama, kepala ini jadi seperti ember bocor yang diisi air dari berbagai sumber — mulai dari air zam-zam sampai air got. Akibatnya? Campur aduk! Pikiran pun jadi seperti kolam ikan lele yang lupa disaring: keruh tapi tetap ramai.
Masalah muncul ketika kita sudah terlalu nyaman dengan
kekeruhan itu. Kita minum air bening malah curiga: “Ini air kenapa gak amis ya?
Jangan-jangan hasil editan AI!”
Begitulah manusia — kadang ketika kebenaran datang dengan wujud sederhana, kita malah panik seperti baru lihat tagihan listrik.
Nah, di sinilah “hidayah” berperan. Ia bukan notifikasi WhatsApp dari langit yang bunyinya “Ting! Kamu sekarang tercerahkan.” Tidak juga seperti voucher gratis ongkir yang bisa diklaim asal cepat-cepat klik. Hidayah itu semacam cahaya lembut yang menyalakan lampu di kamar hati yang sudah lama mati. Masalahnya, banyak dari kita keburu teriak, “Matiin! Silau!” padahal itu lampu pertolongan, bukan blitz kamera malaikat pencatat dosa.
Kita sering lupa: memberi hidayah bukan kerjaan manusia.
Kita cuma bisa forward pesan, bukan edit takdir. Tapi sering, begitu dakwah
kita ditolak, kita ngambek.
“Sudah saya kirim 15 slide PowerPoint dakwah, masa gak tobat
juga?”
Sabar, wahai pejuang konten. Bahkan Nabi pun gak minta subscriber, cuma disuruh nyampaikan aja. Kalau kamu mulai kecewa karena orang gak ‘follow’ kebenaranmu, mungkin kamu sebenarnya lagi ngejar engagement, bukan ridha Tuhan.
Dan jangan lupa, hidayah paling sering macet bukan karena sinyal dari langit, tapi karena hati kita sendiri yang penuh file sampah. Kita sibuk menasihati orang, tapi lupa update diri. Kita rajin nyindir aib orang, tapi lupa cermin di rumah sudah berdebu. Kadang, yang paling keras menyeru “bertaubatlah!” justru adalah orang yang paling butuh mode factory reset di hatinya.
Maka, sebelum sibuk menyalahkan dunia yang gelap, coba cek dulu: jangan-jangan senter kita sendiri belum diisi baterai iman. Jangan sampai kita jadi ahli teori hidayah, tapi praktiknya masih gelap gulita.
Intinya?
Hidayah memang tak bisa dipaksa. Tapi mencucinya—eh, maksudnya mencucikan hati—itu urusan kita. Bersihkan dulu kolam dalam diri, baru nanti cahaya itu akan memantul indah. Kalau masih keruh, ya pantulannya kayak wajah ikan lele lagi—gelap, tapi merasa bersinar.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.