Bayangkan Asia Tenggara sebagai gadis cantik yang punya
segalanya: muda, energik, berbudaya, dan punya masa depan cerah. Tapi entah
kenapa, setiap kali ada investor yang mau melamar, yang datang ke pelaminan
justru Singapura. Indonesia cuma jadi pengiring pengantin—cantik sih, tapi
nggak jadi pilihan utama.
Gita Wirjawan pun muncul seperti guru BP ekonomi, sambil nyeletuk: “Masalahnya
bukan di tampang, tapi di kepercayaan.”
Nah, dari sinilah kisah cinta segitiga antara potensi,
investasi, dan defisit kepercayaan dimulai.
Bab 1: Pendidikan — Antara Buku Teks dan Buku Tabungan
Kata Gita, sumber masalah pertama itu ada di pendidikan.
Betul juga. Kalau Vietnam bisa ranking PISA-nya naik terus, Indonesia masih
sibuk debat: “Anak SD perlu PR nggak sih?”
Investor butuh tenaga kerja yang bisa coding, bukan yang cuma jago membuat
caption motivasi. Tapi bagaimana mau mencetak insinyur kalau anggaran
pendidikan saja sering diperlakukan seperti uang jajan akhir bulan—cukup-cukupan,
asal ada.
Sementara di Singapura, anak-anaknya dari kecil sudah bisa
bikin startup di garasi. Di kita, yang lahir di garasi
biasanya motor tetangga.
Bab 2: Kompetisi — Saat Birokrasi Lebih Ribet dari Drama
Korea
Coba bayangkan: di Singapura, buka usaha bisa selesai dalam
satu hari. Di Indonesia, buka warung kopi saja bisa butuh tiga tanda tangan,
dua materai, dan satu kenalan di kelurahan.
Makanya wajar kalau pendaftaran bisnis kita cuma 0,3 per seribu orang,
sedangkan Singapura hampir 10. Investor pun berpikir, “Daripada capek ngurus
izin di sana, mending bikin kantor di sini aja, tinggal ngopi sambil lihat
Merlion.”
Regulasi kita kadang seperti sinetron Ramadan: niatnya baik,
tapi episodenya terlalu panjang.
Bab 3: Kepemimpinan — Meritokrasi vs. “Mertuokrasi”
Singapura membangun ekonominya dengan meritokrasi—yang
pantas, yang naik.
Indonesia? Kadang sistemnya lebih mirip mertuokrasi—yang punya
koneksi, yang naik duluan.
Kalau ada jabatan kosong, bukan yang paling kompeten yang dipilih, tapi yang
paling rajin “silaturahmi strategis”.
Hasilnya, institusi jadi lemah, kebijakan gampang berubah, dan investor pun
trauma—seperti mantan yang pernah dighosting tanpa alasan.
Bab 4: Infrastruktur — Jalan Tol Sudah Ada, Tapi Kabel
Wi-Fi Masih Putus
Infrastruktur kita sudah lumayan: ada tol, bandara,
pelabuhan. Tapi begitu sinyal internet hilang di tengah jalan, investor
langsung berpikir, “Hmm, kayaknya saya salah buka peta.”
Padahal, di era digital, konektivitas itu seperti oksigen. Tanpa sinyal yang
kuat, ekonomi bisa megap-megap. Dan jangan lupa, konektivitas mental juga
penting: jangan cepat disconnect tiap kali dengar kritik.
Bab 5: Storytelling — Karena Dunia Butuh Cerita, Bukan
Cuma Data
Asia Tenggara punya jutaan kisah sukses, tapi yang viral di
dunia malah “Crazy Rich Asians”.
Kita perlu storytelling yang keren, bukan cuma presentasi
PowerPoint yang penuh angka tapi tanpa jiwa.
Narasi yang kuat bisa bikin dunia percaya. Karena, kata pepatah investor: "Trust
grows where stories glow."
Atau dalam versi lokalnya: “Investor datang bukan karena janji manis, tapi
karena cerita yang logis.”
Bab 6: Pendidikan, STEM, dan Jalan Ninja Menuju
Kepercayaan
Pendidikan STEM itu bukan sekadar akronim keren; itu bahasa
cinta bagi investor.
Bayangkan jika anak-anak kita bisa menjelaskan iklim, teknologi, dan geopolitik
sambil ngopi santai. Dunia pasti terpesona.
Sayangnya, kita masih sibuk debat kurikulum, lupa bahwa masa depan itu tak akan
menunggu yang suka menunda.
Bab 7: Hukum — Ketika Investor Butuh Kepastian, Bukan
Kejutan
Supremasi hukum itu ibarat bumbu rendang: kalau nggak pas,
hasilnya bisa alot.
Investor mau kepastian, bukan drama “kasus baru muncul setelah kontrak
ditandatangani.”
Kalau hukum bisa ditegakkan adil, modal pasti datang dengan sukarela.
Lagian, siapa sih yang mau investasi di tempat di mana aturan bisa berubah
lebih cepat daripada status hubungan di media sosial?
Epilog: Dari Potensi ke Realisasi, dari Wacana ke Aksi
Gita Wirjawan bilang, masalah kita bukan kurang potensi,
tapi kurang niat menjadikannya nyata.
Sama seperti banyak resolusi tahun baru: niatnya mulia, realisasinya entah ke
mana.
Asia Tenggara, terutama Indonesia, ibarat pahlawan super
yang belum sadar kekuatannya.
Kita punya sumber daya, talenta, dan posisi strategis. Tinggal satu yang
kurang: percaya diri kolektif.
Karena pada akhirnya, investasi itu bukan cuma tentang uang,
tapi tentang keyakinan.
Dan kalau kita masih sibuk menunda perbaikan, jangan salahkan investor yang
memilih ke tetangga.
Mereka cuma realistis—sementara kita masih sibuk bikin rencana lima tahun yang
baru akan dimulai... setelah rapat koordinasi berikutnya.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.