Jumat, 17 Oktober 2025

Potensi Banyak, Realisasi Seret: Kisah Cinta Asia Tenggara dan Investor yang Tak Kunjung Jadian

Bayangkan Asia Tenggara sebagai gadis cantik yang punya segalanya: muda, energik, berbudaya, dan punya masa depan cerah. Tapi entah kenapa, setiap kali ada investor yang mau melamar, yang datang ke pelaminan justru Singapura. Indonesia cuma jadi pengiring pengantin—cantik sih, tapi nggak jadi pilihan utama.

Gita Wirjawan pun muncul seperti guru BP ekonomi, sambil nyeletuk: “Masalahnya bukan di tampang, tapi di kepercayaan.”

Nah, dari sinilah kisah cinta segitiga antara potensi, investasi, dan defisit kepercayaan dimulai.

Bab 1: Pendidikan — Antara Buku Teks dan Buku Tabungan

Kata Gita, sumber masalah pertama itu ada di pendidikan. Betul juga. Kalau Vietnam bisa ranking PISA-nya naik terus, Indonesia masih sibuk debat: “Anak SD perlu PR nggak sih?”
Investor butuh tenaga kerja yang bisa coding, bukan yang cuma jago membuat caption motivasi. Tapi bagaimana mau mencetak insinyur kalau anggaran pendidikan saja sering diperlakukan seperti uang jajan akhir bulan—cukup-cukupan, asal ada.

Sementara di Singapura, anak-anaknya dari kecil sudah bisa bikin startup di garasi. Di kita, yang lahir di garasi biasanya motor tetangga.

Bab 2: Kompetisi — Saat Birokrasi Lebih Ribet dari Drama Korea

Coba bayangkan: di Singapura, buka usaha bisa selesai dalam satu hari. Di Indonesia, buka warung kopi saja bisa butuh tiga tanda tangan, dua materai, dan satu kenalan di kelurahan.
Makanya wajar kalau pendaftaran bisnis kita cuma 0,3 per seribu orang, sedangkan Singapura hampir 10. Investor pun berpikir, “Daripada capek ngurus izin di sana, mending bikin kantor di sini aja, tinggal ngopi sambil lihat Merlion.”

Regulasi kita kadang seperti sinetron Ramadan: niatnya baik, tapi episodenya terlalu panjang.

Bab 3: Kepemimpinan — Meritokrasi vs. “Mertuokrasi”

Singapura membangun ekonominya dengan meritokrasi—yang pantas, yang naik.
Indonesia? Kadang sistemnya lebih mirip mertuokrasi—yang punya koneksi, yang naik duluan.
Kalau ada jabatan kosong, bukan yang paling kompeten yang dipilih, tapi yang paling rajin “silaturahmi strategis”.
Hasilnya, institusi jadi lemah, kebijakan gampang berubah, dan investor pun trauma—seperti mantan yang pernah dighosting tanpa alasan.

Bab 4: Infrastruktur — Jalan Tol Sudah Ada, Tapi Kabel Wi-Fi Masih Putus

Infrastruktur kita sudah lumayan: ada tol, bandara, pelabuhan. Tapi begitu sinyal internet hilang di tengah jalan, investor langsung berpikir, “Hmm, kayaknya saya salah buka peta.”
Padahal, di era digital, konektivitas itu seperti oksigen. Tanpa sinyal yang kuat, ekonomi bisa megap-megap. Dan jangan lupa, konektivitas mental juga penting: jangan cepat disconnect tiap kali dengar kritik.

Bab 5: Storytelling — Karena Dunia Butuh Cerita, Bukan Cuma Data

Asia Tenggara punya jutaan kisah sukses, tapi yang viral di dunia malah “Crazy Rich Asians”.
Kita perlu storytelling yang keren, bukan cuma presentasi PowerPoint yang penuh angka tapi tanpa jiwa.
Narasi yang kuat bisa bikin dunia percaya. Karena, kata pepatah investor: "Trust grows where stories glow."
Atau dalam versi lokalnya: “Investor datang bukan karena janji manis, tapi karena cerita yang logis.”

Bab 6: Pendidikan, STEM, dan Jalan Ninja Menuju Kepercayaan

Pendidikan STEM itu bukan sekadar akronim keren; itu bahasa cinta bagi investor.
Bayangkan jika anak-anak kita bisa menjelaskan iklim, teknologi, dan geopolitik sambil ngopi santai. Dunia pasti terpesona.
Sayangnya, kita masih sibuk debat kurikulum, lupa bahwa masa depan itu tak akan menunggu yang suka menunda.

Bab 7: Hukum — Ketika Investor Butuh Kepastian, Bukan Kejutan

Supremasi hukum itu ibarat bumbu rendang: kalau nggak pas, hasilnya bisa alot.
Investor mau kepastian, bukan drama “kasus baru muncul setelah kontrak ditandatangani.”
Kalau hukum bisa ditegakkan adil, modal pasti datang dengan sukarela.
Lagian, siapa sih yang mau investasi di tempat di mana aturan bisa berubah lebih cepat daripada status hubungan di media sosial?

Epilog: Dari Potensi ke Realisasi, dari Wacana ke Aksi

Gita Wirjawan bilang, masalah kita bukan kurang potensi, tapi kurang niat menjadikannya nyata.
Sama seperti banyak resolusi tahun baru: niatnya mulia, realisasinya entah ke mana.

Asia Tenggara, terutama Indonesia, ibarat pahlawan super yang belum sadar kekuatannya.
Kita punya sumber daya, talenta, dan posisi strategis. Tinggal satu yang kurang: percaya diri kolektif.

Karena pada akhirnya, investasi itu bukan cuma tentang uang, tapi tentang keyakinan.
Dan kalau kita masih sibuk menunda perbaikan, jangan salahkan investor yang memilih ke tetangga.
Mereka cuma realistis—sementara kita masih sibuk bikin rencana lima tahun yang baru akan dimulai... setelah rapat koordinasi berikutnya.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.