Mencari guru itu, kata para sufi, seperti mencari dokter batin: harus yang benar-benar paham penyakitnya, bukan yang cuma tahu nama obat di Google. Tapi di zaman sekarang, mencari guru bukan hal mudah. Kadang baru dua kali ikut pengajian, sudah upload story dengan caption “Bismillah, menemukan mursyid sejati.” Eh, seminggu kemudian, ganti guru karena yang baru “lebih vibes.”
Padahal, kata Syekh Ibrahim ad-Dasuqi, perjalanan spiritual
itu bukan jalan tol, tapi tanjakan sempit yang penuh batu tajam dan pos ronda
ujian batin. Kalau niatnya nggak murni, ya nyungsep di tikungan ego.
Tahap 1: Cari Guru yang Bener, Bukan yang Viral
Kata para masyayikh, guru itu bukan cuma yang ilmunya
tinggi, tapi juga zuhud—nggak nempel sama dunia, dan wara’—takut banget sama
yang haram. Beda jauh dari “ustaz konten” yang ceramahnya disponsori kopi saset
dan ditutup dengan kode promosi.
Guru sejati nggak sibuk cari views, tapi sibuk menghapus
“dirinya” sendiri agar murid bisa melihat Allah. Tapi murid zaman now sering
kebalik: sibuk mencari guru yang cocok dengan algoritma, bukan dengan hatinya.
Tahap 2: Sadar Diri Bahwa Kita Sakit (Tapi Nggak Usah
Drama)
Kata Syekh ad-Dasuqi, kalau manusia itu benar-benar suci
hatinya, mungkin nggak butuh guru. Tapi sayangnya, kebanyakan kita datang
dengan “setumpuk penyakit batin”: sombong, riya, iri, dengki, dan sedikit drama
queen.
Guru itu seperti dokter spiritual—tugasnya mendiagnosis
penyakit hati, bukan menuruti maunya pasien. Tapi murid kadang lebih ribet
daripada pasien THT. Baru dinasihati sedikit, langsung bilang: “Kok saya
disindir, ya?” Padahal belum juga disindir, baru ditiup hatinya dikit biar
lembut.
Tahap 3: Belajar Puasa, Tapi Jangan Jadi Zombie
Kata Syekh, makanan utama murid itu kelaparan, minumannya
air mata, dan tempat tidurnya sabar. Tapi tentu bukan berarti murid harus diet
ekstrem spiritual sampai tipes. Maksudnya: tahan nafsu, bukan tahan
nasi.
Sayangnya, sebagian murid suka kebablasan. Baru tiga hari
puasa Senin-Kamis sudah merasa lebih ringan dari udara, padahal baru lapar
biasa. Ada pula yang menangis tiap malam, tapi bukan karena rindu
Allah—melainkan karena kuota habis pas nonton ceramah favoritnya.
Tahap 4: Latihan Hati Anti Baper
Salah satu tugas murid sejati adalah menjaga hati. Jangan
gampang tersinggung, jangan ngomel, dan jangan nyinyir. Kalau diuji, sabar;
kalau bisa balas, maafkan; kalau lapar, jangan update status.
Para sufi bilang, murid yang sukses itu yang “memakmurkan
bumi dengan jasadnya dan langit dengan hatinya.” Artinya, tangannya kerja,
lidahnya dzikir. Tapi ada juga murid versi modern: “memakmurkan grup WhatsApp
dengan debat dan langit dengan emoji nangis.”
Tahap 5: Jangan Lupa, Jalannya Tetap Syariat
Inilah bagian paling penting. Syariat itu pagar, bukan
pembatas pemandangan. Tarekat tanpa syariat ibarat GPS tanpa sinyal—ujungnya
nyasar ke lembah ilusi.
Banyak orang tergoda memotong jalan spiritual dengan gaya
“jalan ninja”—katanya sudah sampai hakikat, padahal baru hafal satu kutipan
dari Asy-Sya’rani. Syekh bilang, jangan coba-coba keluar dari jalur syariat,
nanti bukan ketemu Allah, malah ketemu ego yang pakai jubah mistis.
Epilog: Kebenaran Tak Tersembunyi di Kepala Domba
Di akhir wejangan, disebut kisah ajaib tentang tulisan Ilahi
di kepala domba panggang—sebuah tanda keagungan syariat Nabi Muhammad. Pesannya
jelas: kebenaran itu sering muncul di tempat tak terduga, bahkan di menu makan
malam.
Jadi, kesimpulannya, mencari guru syariat itu bukan perkara
ikut siapa yang paling populer, tapi siapa yang paling mampu membimbing kita
untuk berhenti melihat diri sendiri. Jalan spiritual bukan ajang “upgrade
level” kayak game RPG, tapi perjalanan pulang menuju Allah.
Dan kalau perjalanan ini terasa berat, ingatlah pesan Syekh
Asy-Sya’rani:
“Kelaparan adalah makanan murid, air mata adalah minumannya,
dan cinta Allah adalah kopi panas yang membuatnya tetap terjaga.”
Jadi, teruslah berjalan, wahai murid galau—asal jangan lupa:
bimbingan guru lebih penting dari pencarian filter rohani yang
cocok dengan feed-mu.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.