Rabu, 15 Oktober 2025

Ngaji, Tunduk, dan Nalar: Adab Ala Nahdliyin di Zaman Hastag

Ada yang bilang, dunia pesantren itu dunia yang ajaib. Di tempat lain, orang belajar pakai laptop dan Wi-Fi; di pesantren, kita belajar dengan kitab kuning, sarung, dan... kesabaran. Tapi akhir-akhir ini, dunia ajaib itu sering diserbu netizen—terutama ketika muncul video santri yang dengan khidmat menunduk dan merendahkan diri di hadapan kyainya.

Bagi warga pesantren, itu pemandangan biasa. Tapi bagi warga Twitter, itu seperti film dokumenter dari zaman Majapahit.

“Kenapa harus sampai begitu hormatnya?” tanya mereka.
“Lha, emang kenapa? Yang penting kan bukan caranya, tapi sopan santunnya,” jawab santri dengan wajah polos tapi mantap.

Adab Sebelum Fiber Optik

Bagi kalangan Nahdliyin, adab kepada guru bukan sekadar formalitas sosial, tapi bagian dari spiritualitas. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim jelas disebut: “Barang siapa tidak menghormati gurunya, maka tidak akan mendapat manfaat dari ilmunya.”

Maka, ketika seorang santri menunduk, merapat, atau bersalaman dengan penuh takzim kepada kyai, itu bukan drama keagamaan, tapi wifi rohani — cara menyambungkan hati ke sumber ilmu. Kadang sinyalnya kuat, kadang juga buffering, tapi yang penting koneksinya halal dan penuh barokah.

Tentu saja, warga luar pesantren sering bingung melihat pemandangan seperti itu. “Lho, kok sampai begitu rendah hatinya?” tanya mereka. Padahal bagi Nahdliyin, itu seperti gesture “respect” dalam budaya global. Bedanya, kalau di Jepang orang membungkuk, di pesantren ya menunduk dengan versi yang lebih khusyuk — lengkap dengan sarung dan sandal jepit suci.

Debat Digital: Dari Fikih ke FYP

Begitu video itu viral, dunia maya langsung riuh. Kaum puritan bilang itu bid’ah, kaum NU membalas dengan sanad. “Kami punya riwayat Imam Muslim menghormati Imam Bukhari,” kata santri online dengan percaya diri.

Tapi gaya NU tentu tidak frontal. Mereka menjawab dengan nada santai tapi menusuk:

“Kalau kamu nggak mau hormat seperti itu, ya nggak apa-apa. Tapi jangan larang yang mau. Ini bukan urusan syirik, ini urusan sopan santun, Mas.”

Begitulah cara Nahdliyin berdebat: lembut tapi logis, lucu tapi ngena. Kadang disertai emotikon tangan lipat 🀲 dan diselipkan hadis. Semua dilakukan dengan satu niat: nguri-uri adab, tanpa kehilangan nalar.

Antara Adab dan Akal Sehat

Namun, santri NU juga tahu batas. Mereka sadar, tidak semua kyai itu selevel Imam Bukhari. Ada kyai yang memang pantas dihormati karena kealimannya, tapi ada juga yang kalau disalami, malah sibuk ngecek kamera HP.
Yang begini jelas butuh muhasabah (introspeksi), bukan penghormatan berlebihan.

Dalam pandangan Nahdliyin, adab itu tidak boleh mengalahkan akal sehat. Menunduk, bersalaman, atau mencium tangan boleh, tapi hanya kalau hati juga ikut tunduk—bukan sekadar tubuh yang sopan. Sebab kalau hanya posisi tubuh yang rendah tapi ego masih tinggi, ya sama saja seperti kitab di rak atas: kelihatan suci, tapi berdebu.

Penutup: Dari Pesantren untuk Linimasa

Jadi, buat para netizen yang bingung antara adab dan bid’ah, pesan dari santri NU sederhana saja:

“Yang penting bukan seberapa rendah kita menunduk, tapi seberapa tulus kita menghargai ilmu.”

Karena di dunia pesantren, barokah tidak datang dari gerakan tubuh, tapi dari ketulusan hati.
Adab bukan ritual pamer hormat, tapi cara menjaga hubungan antara murid, guru, dan Tuhan agar tetap nyambung—meski sinyal iman kadang fluktuatif.

Dan kalau nanti ada yang masih ribut soal bentuk penghormatan di Twitter, santri NU cuma akan senyum sambil ngeteh sore:

“Wes, biar mereka debat di linimasa. Kita cukup debat dengan diri sendiri: sudahkah kita beradab sebelum berilmu?”

abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.