Ada yang bilang, dunia pesantren itu dunia yang ajaib. Di tempat lain, orang belajar pakai laptop dan Wi-Fi; di pesantren, kita belajar dengan kitab kuning, sarung, dan... kesabaran. Tapi akhir-akhir ini, dunia ajaib itu sering diserbu netizen—terutama ketika muncul video santri yang dengan khidmat menunduk dan merendahkan diri di hadapan kyainya.
Bagi warga pesantren, itu pemandangan biasa. Tapi bagi
warga Twitter, itu seperti film dokumenter dari zaman Majapahit.
Adab Sebelum Fiber Optik
Bagi kalangan Nahdliyin, adab kepada guru bukan sekadar
formalitas sosial, tapi bagian dari spiritualitas. Dalam kitab Ta’lim
al-Muta’allim jelas disebut: “Barang siapa tidak menghormati gurunya,
maka tidak akan mendapat manfaat dari ilmunya.”
Maka, ketika seorang santri menunduk, merapat, atau
bersalaman dengan penuh takzim kepada kyai, itu bukan drama keagamaan, tapi wifi
rohani — cara menyambungkan hati ke sumber ilmu. Kadang sinyalnya kuat, kadang
juga buffering, tapi yang penting koneksinya halal dan penuh barokah.
Tentu saja, warga luar pesantren sering bingung melihat
pemandangan seperti itu. “Lho, kok sampai begitu rendah hatinya?” tanya mereka.
Padahal bagi Nahdliyin, itu seperti gesture “respect” dalam budaya
global. Bedanya, kalau di Jepang orang membungkuk, di pesantren ya menunduk
dengan versi yang lebih khusyuk — lengkap dengan sarung dan sandal jepit suci.
Debat Digital: Dari Fikih ke FYP
Begitu video itu viral, dunia maya langsung riuh. Kaum
puritan bilang itu bid’ah, kaum NU membalas dengan sanad. “Kami punya riwayat
Imam Muslim menghormati Imam Bukhari,” kata santri online dengan percaya diri.
Tapi gaya NU tentu tidak frontal. Mereka menjawab dengan
nada santai tapi menusuk:
“Kalau kamu nggak mau hormat seperti itu, ya nggak
apa-apa. Tapi jangan larang yang mau. Ini bukan urusan syirik, ini urusan sopan
santun, Mas.”
Begitulah cara Nahdliyin berdebat: lembut tapi logis,
lucu tapi ngena. Kadang disertai emotikon tangan lipat π€²
dan diselipkan hadis. Semua dilakukan dengan satu niat: nguri-uri adab,
tanpa kehilangan nalar.
Antara Adab dan Akal Sehat
Dalam pandangan Nahdliyin, adab itu tidak boleh
mengalahkan akal sehat. Menunduk, bersalaman, atau mencium tangan boleh, tapi
hanya kalau hati juga ikut tunduk—bukan sekadar tubuh yang sopan. Sebab kalau
hanya posisi tubuh yang rendah tapi ego masih tinggi, ya sama saja seperti
kitab di rak atas: kelihatan suci, tapi berdebu.
Penutup: Dari Pesantren untuk Linimasa
Jadi, buat para netizen yang bingung antara adab dan
bid’ah, pesan dari santri NU sederhana saja:
“Yang penting bukan seberapa rendah kita menunduk, tapi
seberapa tulus kita menghargai ilmu.”
Dan kalau nanti ada yang masih ribut soal bentuk
penghormatan di Twitter, santri NU cuma akan senyum sambil ngeteh sore:
“Wes, biar mereka debat di linimasa. Kita cukup debat
dengan diri sendiri: sudahkah kita beradab sebelum berilmu?”
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.