Anak Sakit, Dunia Panik
Program ini lahir dari kekhawatiran: terlalu banyak
anak-anak di negeri adidaya yang tumbuh dengan masalah kesehatan kronis.
Statistiknya begitu dramatis hingga tampak seperti hasil ujian matematika yang
salah hitung. Dari satu anak sakit di antara sepuluh ribu, kini jadi satu di
antara tiga puluh satu. Kalau angka ini terus naik, suatu hari nanti yang sehat
justru perlu program khusus: “Make the Healthy Survive Again.”
Laporan resmi mengklaim ada empat biang keladi: makanan
ultra-olahan, racun lingkungan, stres, dan kebanyakan obat. Artinya,
penyebabnya bisa jadi apa saja—mulai dari burger beku, udara kotor, sampai
notifikasi email tengah malam dari bos. Hasilnya? Negara pun bertekad “mengatur
ulang” sistem kesehatannya… seperti orang yang yakin sembuh dari flu hanya
dengan mengganti merek vitamin.
Strategi #1: Menyelamatkan Dunia Lewat Sayur dan Regulasi
Langkah pertama adalah memperbaiki sistem pangan nasional.
Pemerintah melarang makanan sampah dari bantuan sosial. Niatnya bagus—tapi
bayangkan reaksi masyarakat saat tahu kupon makanannya tak bisa lagi ditukar
dengan donat pelangi atau mi instan tiga rasa keju. Beberapa bahkan mungkin
berpikir ini adalah konspirasi besar antara kaum vegan dan petani brokoli.
Lalu, badan pengawas makanan mulai menyingkirkan pewarna
buatan dan aditif berbahaya. Industri makanan tentu panik. Mereka sadar: tanpa
warna buatan, permen biru neon dan soda hijau toska tak akan lagi tampak
seperti cairan alien yang menenangkan generasi TikTok. Tapi bukankah itu justru
kabar baik bagi kesehatan?
Seorang pakar gizi berkata, “Peran pemrosesan makanan dalam
diet sehat belum jelas.” Artinya: bahkan para ilmuwan pun bingung antara
“memasak” dan “mengolah secara berlebihan.” Tapi tak apa — kebijakan ini tetap
dijalankan. Karena dalam politik, seperti dalam dapur, terkadang resep yang
belum pasti pun harus dicoba dulu, baru dikritik belakangan.
Strategi #2: Obat Mahal, Kepala Pusing
Langkah berikutnya adalah perang terhadap harga obat yang
terlalu tinggi. Pemerintah menuntut perusahaan farmasi menurunkan harga agar
setara dengan negara lain. Di atas kertas, ini terdengar seperti kisah Robin
Hood modern: mencuri dari Big Pharma untuk memberi ke rakyat. Tapi tentu saja,
perusahaan farmasi tak tinggal diam. Mereka mungkin tengah menyiapkan versi
baru obat penenang untuk para pejabat yang nekat menandatangani kebijakan ini.
Dulu, orang Eropa bisa beli obat seharga dua puluh dolar,
sementara warga negeri itu harus bayar dua ratus empat puluh untuk hal yang
sama. Kini, katanya, harga akan disesuaikan menjadi seratus tiga puluh —
kompromi sempurna yang membuat semua pihak sama-sama tidak puas.
Ekonom menyebut ini sebagai “redistribusi beban.” Tapi
rakyat menyebutnya “diskon separuh harga yang masih terasa mahal.”
Penutup: Sehat, Tapi Bingung
Program reformasi ini tampaknya punya satu misi utama:
membuat masyarakat lebih sehat, meski sedikit lebih bingung. Di satu sisi,
mereka dilarang makan junk food; di sisi lain, mereka harus percaya bahwa
obat-obatan kini lebih murah—walau belum tentu lebih mudah didapat.
Namun, di balik segala kekacauan administratif, ada satu
pesan yang mungkin benar-benar layak diingat: kesehatan bukan sekadar urusan
dokter, tapi hasil dari apa yang kita makan, hirup, pikirkan, dan yakini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.