Selasa, 14 Oktober 2025

πŸ•Œ Pesantren Bukan Kerajaan: Santri Bukan Abdi, Kiai Bukan Sultan

Ada satu hal yang selalu bikin heboh di jagat maya: tudingan bahwa hubungan antara kiai dan santri itu katanya… feodal. Katanya, kiai itu seperti raja kecil di wilayahnya, dan santri hanyalah rakyat jelata yang siap mengiyakan semua titah. Padahal, kalau feodal itu betul-betul diterapkan, santri mestinya disuruh sujud bukan hanya waktu shalat, tapi juga waktu menyuguhkan kopi—dan itu jelas melanggar syariat (dan etika kopi).

Namun sebelum kita keburu menuduh, mari duduk dulu di serambi pesantren, hirup aroma kayu bakar dari dapur santri, dan dengarkan Gus Dur—ya, beliau yang paling ahli mengubah tudingan menjadi tawa—menjelaskan bahwa pesantren itu bukan kerajaan, tapi subkultur.
Kalau kerajaan punya kasta, pesantren punya kasur tipis yang bisa dipakai rame-rame.

🌾 Subkultur: Dunia yang Hidup dari Nasi Liwet dan Kitab Kuning

Menurut Gus Dur (1974, alias zaman di mana “Twitter” masih berarti suara burung beneran), pesantren bukan cuma tempat ngaji. Ia adalah ekosistem budaya—sebuah dunia mini dengan logika sendiri.
Ada kiai sebagai kompas moral, ustadz sebagai GPS cadangan, dan santri sebagai pengikut setia yang kadang salah arah tapi tetap niat baik.

Di luar pagar, ada masyarakat sekitar—kauman—yang rajin nyumbang beras, kadang juga menyumbang gosip (“santri putri itu hafalannya cepat, tapi sering ke warung, lho!”).
Semuanya hidup dalam hubungan simbiosis spiritual: yang satu mendoakan, yang lain membawakan sayur asem.

Kalau feodalisme itu kaku seperti tiang bendera di lapangan sekolah, maka hubungan kiai dan santri justru lentur—kadang menegangkan, tapi selalu hangat.
Kiai menegur dengan tatapan yang bisa bikin jantung berdebar lebih cepat dari sinyal Wi-Fi pesantren. Santri menerima dengan taat, lalu menulis refleksi di kitab: “Catatan untuk diri sendiri: jangan tidur waktu ngaji.”

πŸ“š Peniruan dan Pengekangan: Dua Sayap Santri Terbang

Di pesantren, santri belajar dua hal utama: peniruan dan pengekangan.
Peniruan artinya meneladani para ulama dan sahabat Nabi—bukan meniru gaya rambut seleb TikTok.
Sedangkan pengekangan artinya disiplin: tidak boleh bawa HP ke kamar, tidak boleh kabur saat ro’an, dan tidak boleh lupa wudhu meskipun air dingin seperti es krim rasa tawakal.

Sanksi sosial bagi pelanggar pun khas pesantren: bukan dikeluarkan, tapi diomongin satu asrama. Itu hukuman paling ampuh di dunia.

🧠 Gus Dur: Santri yang Sadar Bahwa Subkultur Juga Bisa Pusing

Meski penuh cinta, Gus Dur tidak romantis buta. Beliau tahu, pesantren bisa tergelincir—bukan karena feodal, tapi karena terlalu administratif.
Ketika kharisma kiai mulai digantikan oleh “rapat pengurus,” maka ruh pesantren bisa menipis seperti teh yang diseduh untuk keempat kalinya.

Gus Dur juga mengingatkan agar pesantren tidak kehilangan inti kesederhanaannya. Karena kalau santri sudah sibuk ngurus brand identity pesantren di Instagram, tapi lupa baca wirid, maka pesantren berubah jadi startup spiritual tanpa server doa.

πŸ“± Pesantren Zaman Now: Antara TikTok dan Tafsir Jalalain

Kini, di era digital, pesantren harus berhadapan dengan tantangan baru: dari gawai sampai gosip daring.
Santri bisa mengaji via YouTube, tapi kadang juga scroll komentar netizen sampai lupa makna “tafakur.”
Kiai bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, karena algoritma ikut mengajar.

Namun justru di sinilah relevansi gagasan Gus Dur terasa seperti teh panas di pagi dingin:
Pesantren bukan bangunan tua yang harus dipugar dengan gaya modern, tapi kebun nilai yang harus terus disiram—meski hujan kritik datang bertubi-tubi.

 Penutup: Subkultur yang Tak Pernah Kehabisan Humor

Pada akhirnya, menuduh pesantren sebagai institusi feodal sama lucunya dengan mengira bahwa santri tidur di bawah perintah kiai.
Padahal, santri itu tidur karena ngantuk, bukan karena diperintah.
Pesantren adalah tempat di mana tradisi dan modernitas bersalaman, bukan berkelahi.

Kalau mau memahami pesantren, jangan cuma pakai kacamata akademik—pakailah sandal jepit santri.
Karena di sanalah kita akan paham: pesantren bukan kerajaan, tapi keramaian yang suci, tempat di mana ilmu, tawa, dan kesederhanaan tumbuh berdampingan seperti kitab dan kopi di meja kiai.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.