Ada satu hal yang selalu bikin heboh di jagat maya: tudingan bahwa hubungan antara kiai dan santri itu katanya… feodal. Katanya, kiai itu seperti raja kecil di wilayahnya, dan santri hanyalah rakyat jelata yang siap mengiyakan semua titah. Padahal, kalau feodal itu betul-betul diterapkan, santri mestinya disuruh sujud bukan hanya waktu shalat, tapi juga waktu menyuguhkan kopi—dan itu jelas melanggar syariat (dan etika kopi).
Namun sebelum kita keburu menuduh, mari duduk dulu di
serambi pesantren, hirup aroma kayu bakar dari dapur santri, dan dengarkan Gus
Dur—ya, beliau yang paling ahli mengubah tudingan menjadi tawa—menjelaskan
bahwa pesantren itu bukan kerajaan, tapi subkultur.
Kalau kerajaan punya kasta, pesantren punya kasur tipis yang
bisa dipakai rame-rame.
πΎ Subkultur: Dunia
yang Hidup dari Nasi Liwet dan Kitab Kuning
Menurut Gus Dur (1974, alias zaman di mana “Twitter” masih
berarti suara burung beneran), pesantren bukan cuma tempat ngaji. Ia
adalah ekosistem budaya—sebuah dunia mini dengan logika sendiri.
Ada kiai sebagai kompas moral, ustadz sebagai GPS cadangan, dan santri sebagai
pengikut setia yang kadang salah arah tapi tetap niat baik.
Di luar pagar, ada masyarakat sekitar—kauman—yang
rajin nyumbang beras, kadang juga menyumbang gosip (“santri putri itu
hafalannya cepat, tapi sering ke warung, lho!”).
Semuanya hidup dalam hubungan simbiosis spiritual: yang satu
mendoakan, yang lain membawakan sayur asem.
Kalau feodalisme itu kaku seperti tiang bendera di lapangan
sekolah, maka hubungan kiai dan santri justru lentur—kadang menegangkan, tapi
selalu hangat.
Kiai menegur dengan tatapan yang bisa bikin jantung berdebar lebih cepat dari
sinyal Wi-Fi pesantren. Santri menerima dengan taat, lalu menulis refleksi di
kitab: “Catatan untuk diri sendiri: jangan tidur waktu ngaji.”
π Peniruan dan
Pengekangan: Dua Sayap Santri Terbang
Di pesantren, santri belajar dua hal utama: peniruan
dan pengekangan.
Peniruan artinya meneladani para ulama dan sahabat Nabi—bukan meniru gaya
rambut seleb TikTok.
Sedangkan pengekangan artinya disiplin: tidak boleh bawa HP ke kamar, tidak
boleh kabur saat ro’an, dan tidak boleh lupa wudhu meskipun air
dingin seperti es krim rasa tawakal.
Sanksi sosial bagi pelanggar pun khas pesantren: bukan
dikeluarkan, tapi diomongin satu asrama. Itu hukuman paling ampuh
di dunia.
π§ Gus Dur: Santri
yang Sadar Bahwa Subkultur Juga Bisa Pusing
Meski penuh cinta, Gus Dur tidak romantis buta. Beliau tahu,
pesantren bisa tergelincir—bukan karena feodal, tapi karena terlalu
administratif.
Ketika kharisma kiai mulai digantikan oleh “rapat pengurus,” maka ruh pesantren
bisa menipis seperti teh yang diseduh untuk keempat kalinya.
Gus Dur juga mengingatkan agar pesantren tidak
kehilangan inti kesederhanaannya. Karena kalau santri sudah sibuk
ngurus brand identity pesantren di Instagram, tapi lupa baca
wirid, maka pesantren berubah jadi startup spiritual tanpa server doa.
π± Pesantren Zaman
Now: Antara TikTok dan Tafsir Jalalain
Kini, di era digital, pesantren harus berhadapan dengan
tantangan baru: dari gawai sampai gosip daring.
Santri bisa mengaji via YouTube, tapi kadang juga scroll komentar
netizen sampai lupa makna “tafakur.”
Kiai bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, karena algoritma ikut
mengajar.
Namun justru di sinilah relevansi gagasan Gus Dur terasa
seperti teh panas di pagi dingin:
Pesantren bukan bangunan tua yang harus dipugar dengan gaya modern, tapi kebun
nilai yang harus terus disiram—meski hujan kritik datang bertubi-tubi.
☕ Penutup: Subkultur yang
Tak Pernah Kehabisan Humor
Pada akhirnya, menuduh pesantren sebagai institusi feodal
sama lucunya dengan mengira bahwa santri tidur di bawah perintah kiai.
Padahal, santri itu tidur karena ngantuk, bukan karena diperintah.
Pesantren adalah tempat di mana tradisi dan modernitas bersalaman,
bukan berkelahi.
Kalau mau memahami pesantren, jangan cuma pakai kacamata
akademik—pakailah sandal jepit santri.
Karena di sanalah kita akan paham: pesantren bukan kerajaan, tapi keramaian
yang suci, tempat di mana ilmu, tawa, dan kesederhanaan tumbuh berdampingan
seperti kitab dan kopi di meja kiai.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.