Selasa, 21 Oktober 2025

Sepakat untuk Tidak Sepakat — Seni Bertengkar Tanpa Pingsan

Kalau hidup ini warung kopi, maka perbedaan pendapat adalah gula dan kopinya. Tanpa keduanya, obrolan cuma jadi air panas hambar — bikin ngantuk, bukan tercerahkan. Tapi di zaman media sosial, banyak yang lupa cara mengaduknya dengan santai. Akibatnya? Kopinya tumpah, amarahnya tumpuk, dan akhirnya semua saling unfollow dengan perasaan penuh dosa digital.

Salah satu pemikir bijak dunia maya pernah menulis: akar dari semua perdebatan bukan cuma soal apa yang dibicarakan, tapi dari mana seseorang memulai berpikir. Ada yang menganggap kebenaran hanya datang dari hal-hal yang bisa diukur dan di-screenshot, sementara ada yang yakin bahwa kebenaran juga datang dari hal-hal gaib — dari frekuensi langit yang sinyalnya cuma bisa ditangkap lewat iman, bukan Wi-Fi.

Jadi kalau dua orang beda jaringan — yang satu pakai paket data logika, yang satu pakai roaming iman — ya jangan heran kalau diskusinya sering putus nyambung. Kadang sinyal logika hilang, kadang kuota sabar habis.

Padahal, kitab suci sendiri sudah memberi petunjuk: adalah mereka yang “beriman kepada yang gaib.” Artinya, dunia ini tak cuma terdiri dari yang bisa dilihat mata, tapi juga yang hanya bisa dirasakan jiwa. Jadi kalau satu pihak menuntut bukti ilmiah tentang malaikat, dan pihak lain menjawab dengan “ya pokoknya ada,” maka yang dibutuhkan bukan debat, tapi pelukan — atau minimal segelas teh manis supaya emosinya turun.

Masalahnya, banyak orang hari ini justru lebih sibuk menang daripada mengerti. Ada kelompok yang katanya berpihak pada kebenaran spiritual, tapi di kolom komentar malah berubah jadi tim adu mulut tanpa adab. Mereka menuduh, mencemooh, lalu menutup dengan “Wallahu a’lam” seolah itu penutup dosa.

Di sisi lain, ada juga kaum yang hidup tanpa prinsip sama sekali. Mereka ikut arah angin digital: hari ini ikut trending, besok jadi oposisi, lusa jadi pengamat netral. Prinsipnya sederhana: asal ramai, saya ikut. Kalau perdebatan adalah panggung, mereka jadi penonton yang setiap lima menit pindah kursi.

Lucunya, semua pihak merasa paling rasional, paling benar, dan paling beradab — padahal kadang yang paling keras suaranya justru paling tipis dalilnya. Dunia maya jadi seperti ruang tamu raksasa tempat semua orang bicara, tapi tak ada yang benar-benar mendengarkan.

Padahal, solusi sederhana sudah ada: sepakat untuk tidak sepakat.
Kalimat sakti yang jarang dipakai, karena kebanyakan orang lebih suka “tidak sepakat untuk tidak sepakat.” Padahal kalau mau jujur, kemampuan tersenyum sambil berbeda pendapat itu tanda kecerdasan spiritual yang tak bisa didapat dari scrolling komentar.

Mungkin inilah ujian zaman digital: bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling sabar menahan jari. Karena di dunia yang serba cepat, menunda balasan komentar pedas itu sudah termasuk bentuk ibadah kecil.

Jadi sebelum debat di kolom komentar berubah jadi perang emoji, coba tarik napas, bikin kopi, dan tanyakan pada diri sendiri:
Apakah aku sedang mencari kebenaran, atau cuma mencari lawan?

Kalau jawabannya yang kedua, lebih baik minum kopi dulu. Karena dunia ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang yang bisa tertawa sambil berbeda pendapat.

Dan di situlah letak kematangan berpikir — seni bertengkar tanpa pingsan.

abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.