Kalau hidup ini warung kopi, maka perbedaan pendapat adalah gula dan kopinya. Tanpa keduanya, obrolan cuma jadi air panas hambar — bikin ngantuk, bukan tercerahkan. Tapi di zaman media sosial, banyak yang lupa cara mengaduknya dengan santai. Akibatnya? Kopinya tumpah, amarahnya tumpuk, dan akhirnya semua saling unfollow dengan perasaan penuh dosa digital.
Salah satu pemikir bijak dunia maya pernah menulis: akar
dari semua perdebatan bukan cuma soal apa yang dibicarakan,
tapi dari mana seseorang memulai berpikir. Ada yang menganggap
kebenaran hanya datang dari hal-hal yang bisa diukur dan di-screenshot,
sementara ada yang yakin bahwa kebenaran juga datang dari hal-hal gaib — dari
frekuensi langit yang sinyalnya cuma bisa ditangkap lewat iman, bukan Wi-Fi.
Jadi kalau dua orang beda jaringan — yang satu pakai paket
data logika, yang satu pakai roaming iman — ya jangan heran kalau diskusinya
sering putus nyambung. Kadang sinyal logika hilang, kadang kuota sabar habis.
Padahal, kitab suci sendiri sudah memberi petunjuk: adalah mereka yang “beriman kepada yang gaib.” Artinya, dunia ini tak
cuma terdiri dari yang bisa dilihat mata, tapi juga yang hanya bisa dirasakan
jiwa. Jadi kalau satu pihak menuntut bukti ilmiah tentang malaikat, dan pihak
lain menjawab dengan “ya pokoknya ada,” maka yang dibutuhkan bukan debat, tapi
pelukan — atau minimal segelas teh manis supaya emosinya turun.
Masalahnya, banyak orang hari ini justru lebih sibuk menang daripada mengerti.
Ada kelompok yang katanya berpihak pada kebenaran spiritual, tapi di kolom
komentar malah berubah jadi tim adu mulut tanpa adab. Mereka menuduh,
mencemooh, lalu menutup dengan “Wallahu a’lam” seolah itu penutup dosa.
Di sisi lain, ada juga kaum yang hidup tanpa prinsip sama
sekali. Mereka ikut arah angin digital: hari ini ikut trending, besok jadi
oposisi, lusa jadi pengamat netral. Prinsipnya sederhana: asal ramai, saya
ikut. Kalau perdebatan adalah panggung, mereka jadi penonton yang setiap lima
menit pindah kursi.
Lucunya, semua pihak merasa paling rasional, paling benar,
dan paling beradab — padahal kadang yang paling keras suaranya justru paling
tipis dalilnya. Dunia maya jadi seperti ruang tamu raksasa tempat semua orang
bicara, tapi tak ada yang benar-benar mendengarkan.
Mungkin inilah ujian zaman digital: bukan soal siapa yang
paling pintar, tapi siapa yang paling sabar menahan jari. Karena di dunia yang
serba cepat, menunda balasan komentar pedas itu sudah termasuk bentuk ibadah
kecil.
Kalau jawabannya yang kedua, lebih baik minum kopi dulu.
Karena dunia ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang yang bisa
tertawa sambil berbeda pendapat.
Dan di situlah letak kematangan berpikir — seni bertengkar
tanpa pingsan.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.