Kamis, 16 Oktober 2025

Nashaihul Ibad dan Drama Hati: Ketika Santri Belajar Ikhlas Tapi Masih Noleh ke Kamera


Pendahuluan: Hati yang Butuh Perawatan Bengkel

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saudara-saudara sekalian yang dirahmati Allah, semoga hatimu tetap stabil walau sinyal iman kadang naik turun seperti WiFi pondok. Di zaman sekarang, yang lebih cepat dari bisikan setan adalah notifikasi TikTok, manusia makin butuh kitab seperti Nashaihul ‘Ibad.

Karya monumental Syekh Nawawi Al-Bantani ini seperti buku servis hati—karena, mari jujur, banyak dari kita hatinya bukan rusak ringan tapi sudah butuh turun mesin. Amal banyak, tapi niat bocor. Ibadah rajin, tapi masih berharap disorot kamera masjid.

Syekh Nawawi menulis kitab ini bukan untuk memarahi, tapi untuk menepuk pundak kita sambil bilang: “Nak, jangan sibuk mencuci sandal orang lain kalau sandalmu sendiri hilang.” Alias, jangan kebanyakan menasihati kalau hatimu sendiri belum diservis.

Hikmah yang Bikin Ngaca: Dari Ikhlas sampai Lupa Password Dunia

Hikmah pertama: “Amalan sedikit tapi ikhlas lebih baik daripada banyak tapi riya.”
Kalimat ini seharusnya dicetak di depan semua tempat selfie masjid. Karena sekarang, banyak yang salat tahajud tapi posting caption-nya lebih panjang dari doanya. Padahal, kata Syekh Nawawi, amal yang benar itu seperti WiFi: tak terlihat tapi terasa manfaatnya.

Kemudian beliau bilang, “Barang siapa baik batinnya, maka baik pula lahirnya.”
Nah ini, santri senior sering keliru: dikira wajah cerah karena wudhu, padahal karena skincare. Kalau hatinya masih iri sama teman yang dapat jatah nasi tambah, ya wudhu-nya belum sampai ke hati.

Lanjut lagi: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Kalimat ini berat, tapi bisa diuji dengan sederhana: kalau kamu tahu kelemahanmu—mudah marah, malas bangun subuh, atau sering curhat di status WA—maka kamu sudah mulai kenal dirimu. Tinggal satu langkah lagi: berhenti menyalahkan orang lain dan mulai minta tolong sama Allah.

Syekh Nawawi juga menulis, “Orang berakal adalah yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya.”
Kalimat ini bikin banyak santri merenung di kantin. Karena jujur saja, meninggalkan dunia itu gampang diucap, tapi bagaimana mau meninggalkan dunia kalau utang di koperasi pondok saja belum lunas?

Dan peringatan paling menampar: “Jangan lihat kecilnya maksiat, tapi lihatlah siapa yang kau durhakai.”
Jadi kalau kamu masih suka nyontek tugas teman dan bilang “Ah cuma sekali,” ingat: yang kamu lawan bukan pengawas, tapi Tuhan semesta alam. Dosa kecil itu kayak nasi—sedikit demi sedikit, lama-lama jadi lemak batin.

Ceramah Ringan Tapi Nancep: Tentang Hati, Sabar, dan WiFi Iman

Di antara hikmah paling populer dari Nashaihul ‘Ibad adalah, “Barang siapa niatnya hanya untuk Allah selama 40 hari, maka hikmah akan mengalir dari hatinya ke lisannya.”
Santri yang mencoba ini biasanya kuat di hari pertama, lemah di hari kedua, dan di hari ketiga sudah update: “Challenge 40 hari ikhlas, day 3 ๐Ÿ’ช.”
Padahal kalau sudah diumumkan ke publik, ya batal sudah latihannya.

Ada juga nasihat, “Barang siapa panjang angan-angannya, buruklah amalnya.”
Kalimat ini cocok ditempel di depan kasur santri yang suka bilang: “Nanti aja tahajud, habis isya dulu rebahan.” Nah, rebahan isya itu sering berlanjut sampai subuh lewat.

Syekh Nawawi juga mengingatkan soal sabar: “Barang siapa kesabarannya mengalahkan amarahnya, maka ia telah mencapai derajat manusia sempurna.”
Tapi jujur, santri yang sabar lihat antrean nasi di dapur juga sudah termasuk calon wali kecil. Apalagi kalau nasi tinggal kerak tapi dia tetap bilang “Alhamdulillah.”

Dan puncaknya: “Barang siapa ridha dengan sedikit rezeki maka tubuh dan hatinya akan tenang.”
Inilah alasan kenapa banyak kiai tua di kampung tampak bahagia walau gubuknya bocor. Mereka tahu, ketenangan tak dijual di marketplace. Tapi kalau kamu masih suka iri lihat teman punya HP baru, mungkin belum ridha—baru redha tipis-tipis.

Kesimpulan: Jadi Santri Hati, Bukan Sekadar Santri Sarung

Membaca Nashaihul ‘Ibad seperti disindir tapi disayang. Setiap hikmahnya menampar dengan lembut, kayak kiai yang marah tapi wajahnya tetap teduh.

Syekh Nawawi mengajarkan bahwa hati itu seperti teko: kalau di dalamnya teh manis, yang keluar juga manis; tapi kalau isinya amarah dan iri, ya keluar kata-kata pahit. Maka tugas kita bukan mempercantik teko, tapi membersihkan isi dalamnya.

Jadi, kalau kamu merasa hidupmu belum tenang, mungkin bukan karena gajimu kurang atau rezekimu seret, tapi karena hatimu belum diservis. Coba bawa ke bengkel Syekh Nawawi: buka Nashaihul ‘Ibad, baca satu nasihat setiap hari, dan praktekkan dengan senyum.

Sebab, kata orang pesantren:

“Yang ikhlas itu bukan yang gak minta upah, tapi yang upahnya diserahkan ke Allah dulu, baru diterima di akhirat.”

Dan kalau sudah sampai tahap itu—selamat, berarti hatimu sudah lulus uji kelayakan spiritual.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Semoga kita semua bisa jadi santri yang ikhlas meski kadang masih noleh ke kamera.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.