Senin, 20 Oktober 2025

Wakaf Produktif: Dari Nasi Kotak Jadi Endowment Fund

Di Indonesia, banyak hal yang awalnya niatnya amal jariyah, tapi akhirnya berhenti di tahap amal jariyahi kok ilang duitku ya? Nah, di sinilah wakaf produktif masuk sebagai pahlawan ekonomi syariah yang memakai jas, dasi, dan kalkulator syariah di tangan kanan.

Sebelum kita terlalu jauh, mari kita jujur: banyak kampus Islam di Indonesia yang kadang lebih sibuk memikirkan anggaran seminar dosen daripada visi pendidikan 2045. Di tengah pusingnya mencari dana operasional, muncullah ide brilian dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang — lewat sang Rektor, Prof. Ilfi Nur Diana — yang bilang, “Sudah saatnya kita berhenti jadi kampus yang nunggu bantuan, dan mulai jadi kampus yang bantu diri sendiri.”
Nah, wakaf produktif ini semacam upgrade dari “wakaf tanah buat masjid” menjadi “wakaf duit yang diputer halal dan hasilnya buat masa depan umat.”

Dari Batu Bata ke Bursa Saham (Syariah Tentu Saja)

Kalau dulu orang berwakaf itu identik dengan tanah dan bangunan — yang akhirnya cuma dipakai buat selfie di depan gapura bertuliskan Tanah Wakaf Pak Haji Jatmiko — kini konsepnya naik level.
Wakaf produktif itu ibarat kamu punya ayam betina: jangan disembelih, tapi pelihara, kasih makan, biar bertelur setiap hari. Telurnya bisa buat makan, bisa dijual, bisa dibagikan. Dana pokoknya tetap utuh, hasilnya jalan terus.

Dalam bahasa ekonomi syariah yang keren: ini endowment fund yang menghasilkan return tanpa mengurangi principal. Dalam bahasa warung kopi: “duitnya gak habis, tapi tetap ngalir.”

Potensi: Dari Receh Jadi Rp180 Triliun

Bayangkan, potensi wakaf nasional diperkirakan mencapai Rp180 triliun! Itu kalau dikumpulkan, bisa bikin universitas sebanyak warung pecel lele di Jawa. Dari jumlah itu, kampus punya peluang ngelola sekitar Rp5,7 triliun. Kalau serius dikelola, bukan cuma bisa kasih beasiswa, tapi juga bisa kasih makan gratis — mungkin dengan menu nasi kebuli tiap Jumat.

Universitas Al-Azhar di Mesir sudah membuktikan: berkat wakaf, mereka bisa mendidik ribuan mahasiswa tanpa harus jualan kaos bertuliskan #SaveBeasiswa. Artinya, kalau dikelola baik, kampus bisa mandiri, bukan hanya dalam teori, tapi juga di dompet.

Tantangan: Dari Ide Cemerlang ke Realita Lapangan

Tentu saja, semua ini tidak semudah mengirimkan emotikon “Aamiin” di grup WA alumni.
Masalahnya, kadang dana wakaf di Indonesia nasibnya kayak sandal di masjid: banyak yang niat, tapi gak jelas siapa yang bawa pulang. Butuh regulasi jelas, pengelola profesional, dan — yang paling penting — kepercayaan masyarakat.

Belum lagi tantangan klasik: sosialisasi. Sebab di banyak kampus, kata “wakaf produktif” masih dikira nama startup baru, atau mata kuliah pilihan semester tujuh. Padahal ini model finansial masa depan, bukan sekadar amplop Jumat pagi.

Belajar dari Dunia: Kalau Bisa Di Al-Azhar, Kenapa Tidak di Malang?

Lihat Al-Azhar di Mesir, Malaysia dengan Tabung Wakaf Rakyat, atau Turki dengan General Directorate of Foundations. Semuanya punya satu kesamaan: pengelola wakafnya profesional, transparan, dan tidak bingung membedakan antara laporan keuangan dan laporan kegiatan Maulid.

Artinya, kalau dunia bisa, Indonesia juga bisa — asal kita berhenti menjadikan “niat baik” sebagai alasan untuk “tidak belajar akuntansi.”

Menuju Masa Depan: Dari Amal ke Aset

Gerakan wakaf produktif bukan cuma soal uang, tapi soal cara pandang. Ini tentang bagaimana umat Islam bisa move on dari budaya minta-minta ke budaya mengelola.
Bayangkan kalau tiap kampus Islam punya portfolio wakaf: dari kebun kurma di Pasuruan sampai saham syariah di bursa. Mahasiswa bisa kuliah gratis, dosen bisa riset dengan tenang, dan kampus bisa bangun laboratorium tanpa harus nunggu “proposal disetujui kementerian.”

Wakaf produktif itu seperti upgrade spiritual versi finansial — dari donasi spontan menjadi investasi abadi. Dan kalau semua ini berhasil, maka cita-cita pendidikan tinggi Islam yang mandiri, berkualitas, dan berkelanjutan bukan lagi sekadar jargon di spanduk acara seminar, tapi kenyataan di setiap kampus.

Penutup: Dari Infak Kertas ke Wakaf Produktif

Jadi, kalau selama ini kita terbiasa infak “seikhlasnya” di kotak amal yang bunyinya kringg-kringg, mungkin sudah saatnya naik kelas.
Wakaf produktif mengajarkan kita satu hal penting: bahwa sedekah itu bukan cuma soal memberi, tapi juga soal berpikir strategis — karena pahala abadi lebih indah kalau bisa juga membayar SPP.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.