Di Indonesia, banyak hal yang awalnya niatnya amal jariyah, tapi akhirnya berhenti di tahap amal jariyahi kok ilang duitku ya? Nah, di sinilah wakaf produktif masuk sebagai pahlawan ekonomi syariah yang memakai jas, dasi, dan kalkulator syariah di tangan kanan.
Dari Batu Bata ke Bursa Saham (Syariah Tentu Saja)
Dalam bahasa ekonomi syariah yang keren: ini endowment
fund yang menghasilkan return tanpa mengurangi principal.
Dalam bahasa warung kopi: “duitnya gak habis, tapi tetap ngalir.”
Potensi: Dari Receh Jadi Rp180 Triliun
Bayangkan, potensi wakaf nasional diperkirakan mencapai
Rp180 triliun! Itu kalau dikumpulkan, bisa bikin universitas sebanyak warung
pecel lele di Jawa. Dari jumlah itu, kampus punya peluang ngelola sekitar Rp5,7
triliun. Kalau serius dikelola, bukan cuma bisa kasih beasiswa, tapi juga bisa
kasih makan gratis — mungkin dengan menu nasi kebuli tiap Jumat.
Universitas Al-Azhar di Mesir sudah membuktikan: berkat
wakaf, mereka bisa mendidik ribuan mahasiswa tanpa harus jualan kaos
bertuliskan #SaveBeasiswa. Artinya, kalau dikelola baik, kampus bisa
mandiri, bukan hanya dalam teori, tapi juga di dompet.
Tantangan: Dari Ide Cemerlang ke Realita Lapangan
Belum lagi tantangan klasik: sosialisasi. Sebab di banyak
kampus, kata “wakaf produktif” masih dikira nama startup baru, atau mata kuliah
pilihan semester tujuh. Padahal ini model finansial masa depan, bukan sekadar
amplop Jumat pagi.
Belajar dari Dunia: Kalau Bisa Di Al-Azhar, Kenapa Tidak
di Malang?
Lihat Al-Azhar di Mesir, Malaysia dengan Tabung Wakaf
Rakyat, atau Turki dengan General Directorate of Foundations.
Semuanya punya satu kesamaan: pengelola wakafnya profesional, transparan, dan
tidak bingung membedakan antara laporan keuangan dan laporan kegiatan Maulid.
Artinya, kalau dunia bisa, Indonesia juga bisa — asal kita
berhenti menjadikan “niat baik” sebagai alasan untuk “tidak belajar akuntansi.”
Menuju Masa Depan: Dari Amal ke Aset
Wakaf produktif itu seperti upgrade spiritual versi
finansial — dari donasi spontan menjadi investasi abadi. Dan
kalau semua ini berhasil, maka cita-cita pendidikan tinggi Islam yang mandiri,
berkualitas, dan berkelanjutan bukan lagi sekadar jargon di spanduk acara
seminar, tapi kenyataan di setiap kampus.
Penutup: Dari Infak Kertas ke Wakaf Produktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.