Indonesia sering disebut sebagai negeri “seribu warna”. Tapi kalau lihat linimasa media sosial, kadang lebih mirip taplak meja kusut—penuh corak, tapi semua benangnya rebutan mau tampil paling depan.
Setiap kali ada perbedaan pandangan, langsung muncul dua kubu: satu sibuk menjelaskan, satu lagi sibuk membalas dengan nada tinggi (dan emoji api). Dalam hitungan jam, topik serius berubah jadi debat gladiator digital, lengkap dengan hastag dan sindiran berlapis moral.
Padahal, di balik semua kegaduhan itu, yang hilang justru
satu hal sederhana: “li ta’arofu”, ajakan untuk saling mengenal.
Sayangnya, di zaman sekarang, yang lebih populer adalah versi modernnya: “li viral dulu aja”.
---
☕ Seni Berbeda Tanpa Drama
Kita ini aneh. Di satu sisi bangga dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, di sisi lain bisa marah cuma karena orang lain punya gaya hidup, cara berpikir, atau pilihan minuman kopi yang berbeda.
Padahal, kalau mau jujur, perbedaan itu bukan ancaman—tapi bumbu kehidupan. Bayangkan kalau semua orang suka hal yang sama: media sosial bakal sepi, warung kopi kehilangan debat seru, dan produsen mie instan cuma perlu satu rasa — “rasa netral”.
Tapi entah kenapa, di dunia maya, logika sering kalah sama ego. Yang tadinya diskusi, berubah jadi lomba adu screenshot. Yang niatnya klarifikasi, malah jadi bahan konten reaksioner.
---
📚 Sekolah Li Ta’arofu: Kurikulum Anti Nyinyir
Mungkin sudah waktunya bangsa ini punya mata pelajaran baru:
Bab 1: “Mendengar tanpa menyiapkan balasan.”
Bab 2: “Berbeda tanpa merasa lebih benar.”
Bab 3: “Mengetik dengan akhlak.”
Tugas akhirnya sederhana: diskusi di grup tanpa keluar dari
grup.
Sulit? Pasti. Tapi kalau berhasil, itu lebih layak dirayakan daripada kelulusan universitas mana pun.
---
🧶 Merajut Kembali dengan Tangan Sendiri
Setiap kali kita mau memperbaiki tenun kebangsaan, selalu ada benang yang menolak digabung karena merasa warnanya paling penting. Padahal, kalau semua warna sepakat jadi putih, hasilnya bukan tenun — tapi kain kafan.
Keindahan justru lahir dari perbedaan yang mau saling melengkapi. Dan untuk sampai ke sana, kita butuh lebih banyak “mau memahami” daripada “ingin dimengerti”.
---
🌈 Penutup: Dari Saling Serang ke Saling Sapa
Kalau kata pepatah lama, “satu jarum bisa merajut, tapi juga
bisa menusuk.” Begitu pula kata-kata kita.
Jadi, sebelum membalas komentar yang bikin panas, mungkin ada baiknya berhenti sejenak, hirup napas, dan bertanya:
> “Apakah ini akan menambah tenun, atau malah merobeknya?”
Karena bangsa ini tidak kekurangan suara, hanya kekurangan
pendengar. Dan selama kita lebih senang membentuk kubu daripada membentuk
pengertian, li ta’arofu akan tetap kalah dari li debat kusir.
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.