Setiap awal bulan, ada dua hal yang membuat rakyat Indonesia berdebar: notifikasi “gaji sudah masuk” dan pesan lembut dari negara yang berbunyi, “PPh 21 telah kupotong, semoga berkah ya.”
Belum sempat menikmati aroma kopi, rakyat sudah teringat—bahwa cinta pada tanah air ternyata diekspresikan lewat slip gaji yang bolong di bagian bawah.
Tapi tenang, perjalanan romansa ini tak berhenti di sana. Begitu rakyat mencoba mencuci baju biar tampak bersih, PPN 11% langsung datang menyapa. Saat lapar menyerang dan tangan meraih mi instan, si PPN ikut menyodorkan nota cinta: “Aku juga ingin bagian dari kebahagiaanmu.” Rupanya, bahkan kenyang pun punya pajak moral.
Dan di tengah hiruk-pikuk dunia maya, muncullah secarik
“daftar kasih sayang fiskal” yang membuat rakyat berkaca-kaca. Isinya: segala
bentuk kontribusi kepada negara—dari pajak kendaraan, cukai rokok, hingga pajak
hiburan.
Lucunya, daftar itu tidak mengandung kejutan ekonomi sama sekali, tapi mengguncang perasaan. Rakyat mendadak merasa romantis: “Wah, ternyata aku ini investor negara!” Bahkan ada yang berkomentar, “Kapan kita dapat dividen nasional?” atau “Tolong tambahkan pajak kesabaran, karena tiap antre di Samsat, itu investasi spiritual!”
Namun seperti kisah cinta klasik, hubungan rakyat dan negara
sering terasa tak seimbang.
Rakyat memberi dengan tulus—kadang lewat potongan otomatis,
kadang lewat senyum pasrah di kasir—sementara negara membalas dengan berita
tender bermasalah, drama korupsi, dan proyek yang selesai tepat waktu hanya di
papan reklame.
Rasanya seperti kirim uang bulanan ke pasangan yang rajin update story, tapi lupa kabar.
Memang, sebagian besar pajak kita adalah pajak tidak langsung. Artinya, kita membayar tanpa sadar, tapi tetap sadar bahwa dompet makin menipis. Pajak ini seperti hantu ekonomi: tak terlihat, tapi sukses membuat jantung berdebar tiap akhir bulan. Maka tak heran kalau daftar sederhana di media sosial itu terasa seperti cermin realita—tempat rakyat akhirnya bisa berkata, “Saya bukan rakyat kecil, saya donatur nasional yang tak tercatat di Forbes.”
Namun jangan salah paham: daftar itu bukan ajakan untuk
mogok bayar pajak. Justru sebaliknya—itu bentuk cinta yang matang.
Rakyat cuma ingin hubungan ini berjalan sehat. Kalau mereka sudah setia menyetor tiap bulan, wajar dong kalau minta laporan keuangan yang jujur. Kalau cinta harus dibuktikan dengan tindakan, maka pajak juga begitu: bukan sekadar potongan, tapi pengabdian.
Dan di akhir kisah ini, dompet pun menulis sepucuk surat penutup untuk negara:
> “Kita sudah lama bersama. Aku rela terbuka tiap tanggal
tua, aku setia tanpa syarat. Tapi, bisakah kali ini kamu yang berkorban
sedikit? Bayarlah pajak kepercayaan pada rakyat, sebelum saldo cinta ini
benar-benar habis.”
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.