Kalau kita pikir-pikir, jadi murid tarekat itu mirip banget sama jadi gelas. Bedanya, kalau gelas bisa dibeli di toko plastik, murid nggak bisa dibeli di marketplace. Murid itu harus open minded—alias buka hati. Soalnya, ilmu dari guru itu kayak air jernih yang dituang dari teko. Nah, kalau hati kita retak, sombong, atau ditutup rapat… ya wassalam, yang masuk bukan ilmu, tapi cuma tumpahan sia-sia.
Taat Itu Kunci, Bukan Pilihan Menu
Kyai bilang, murid harus taat. Bukan taat model “kadang iya,
kadang skip”. Kalau taat di tarekat itu kayak password Wi-Fi—salah satu huruf
aja, nggak bakal connect. Jangan ngarep dapat ilmu kalau masih ngeyel sama
guru. Mau anak presiden, mau cucu lurah, atau keponakan RT, tetap aja kalau
bandel, ya putus sinyalnya.
Amaliah: Dari Berat Jadi Otomatis
Awalnya puasa, zikir malam, jaga lisan, dan ngehindarin
makanan syubhat itu terasa berat. Tapi kalau rutin, lama-lama jadi kebiasaan.
Sama kayak gosok gigi—kalau nggak dikerjain malah aneh. Bayangin kalau amaliah
sudah otomatis, zikir jadi kayak “refleks” ketimbang “reminder”. Bedanya, kalau
lupa gosok gigi mulut bau, kalau lupa zikir hati yang bau.
Adab Dulu, Ilmu Kemudian
Murid yang nggak punya adab itu kayak orang mau masuk rumah
tapi nggak ketok pintu. Jangankan dikasih masuk, disangka maling malah iya.
Nabi Musa aja diuji adabnya waktu bareng Nabi Khidir. Bayangin, Musa ‘alaihis
salam—seorang rasul—masih bisa gagal jadi murid karena terlalu sering protes.
Apalagi kita, yang kadang shalat masih pakai alarm tiga kali snooze.
Murid Pribadi vs Murid Tarekat
Ada murid pribadi, ada murid tarekat. Kalau murid pribadi
cukup amalkan amaliah guru, nggak perlu sumpah atau baiat. Tapi kalau mau naik
kelas jadi murid tarekat, ada baiat resmi. Anggap aja kayak upgrade akun dari
“free trial” jadi “premium member”. Bedanya, kalau di aplikasi premium bisa
cancel kapan aja, kalau di tarekat melanggar baiat ya langsung otomatis
“auto-logout” dari sistem.
Guru Sejati Bukan Tukang Cari Jabatan
Guru mursyid itu bukan kayak caleg yang kampanye minta
dipilih. Justru yang beneran mursyid itu sering merasa berat dengan amanahnya.
Jadi kalau ada guru yang sibuk branding dirinya lebih mulia dari orang lain,
hati-hati, bisa jadi itu “versi KW”. Guru sejati itu kayak Google Maps—dia cuma
nunjukin jalan karena sudah lebih dulu lewat, bukan karena lebih keren dari
penumpangnya.
Penutup
Jadi murid tarekat intinya sederhana: jangan sombong, jangan
bandel, jangan jadi gelas retak. Kalau hati masih keras kayak ember bekas cat,
air ilmu nggak bakal masuk. Maka, belajar lah dengan adab, jalani amaliah
dengan konsisten, dan taati guru sepenuh hati.
Karena pada akhirnya, tarekat bukan jalan instan biar
dianggap sakti, tapi jalan panjang buat hati biar nggak makin nyeleneh. Ingat,
ilmu itu cahaya. Dan cahaya nggak bisa masuk kalau hati kita masih mode
gelap.
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.