Kamis, 04 September 2025

Taman Siswa vs Pesantren: Duel Pendidikan Abad 21 di Ring Rakyat

Kalau dunia pendidikan Indonesia ini sebuah sinetron, maka Taman Siswa dan pesantren adalah dua tokoh utama yang kadang kompak, kadang bersaing, tapi sama-sama punya jurus sakti. Bedanya, Taman Siswa tampil rapi dengan jas ala Ki Hajar Dewantara, sementara pesantren datang dengan sarung kotak-kotak dan sandal jepit, tapi dua-duanya sama-sama bikin Belanda garuk-garuk kepala dulu.

Taman Siswa: Sekolahnya Pak Guru Filosofis

Ki Hajar Dewantara itu mirip Yoda-nya Star Wars—bijak, sabar, dan penuh semboyan. “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” kalau diterjemahkan ke bahasa anak sekarang mungkin jadi:

  • Ing ngarso sung tulodo → “Kalau jadi ketua kelas, jangan cuma galak, kasih contoh dong.”
  • Ing madyo mangun karso → “Kalau lagi nongkrong bareng, jangan cuma rebahan, ayo semangat.”
  • Tut wuri handayani → “Kalau sudah tua, jangan nyinyir, cukup jadi motivator.”

Pokoknya, Ki Hajar mau bikin pendidikan yang bikin anak-anak bisa mikir sendiri, bukan robot penghafal rumus. Kalau zaman sekarang, mungkin beliau bikin startup edtech dengan tagline: “Sekolah Merdeka, Bukan Sekolah Merdeka Belanja di Mall.”

Pesantren: Kampus Sarungan yang Bandel

Sementara itu, pesantren ibarat franchise pendidikan yang paling tahan banting. Sejak zaman Pangeran Diponegoro sampai Gus Dur, pesantren sudah jadi semacam markas besar Avengers Nusantara. Bedanya, di sini tidak ada Iron Man, adanya Iron Sarung—kiai-kiai yang karismanya bikin jamaah rela antre panjang cuma untuk salaman.

Pesantren punya lima kekuatan super:

  1. Mandiri – kurikulum bebas dari “iklan sponsor” luar negeri.
  2. Historis – sanad ilmunya lebih panjang dari antrean BTS meal.
  3. Jaringan luas – lebih rapi daripada jaringan MLM.
  4. Inklusif – meski pintu masuknya sempit, hatinya luas.
  5. Kepemimpinan karismatik – kalau kiai batuk, santri sudah siap ambil minyak kayu putih.

Kalau Taman Siswa ngajarin kesadaran kritis ala Paulo Freire, pesantren ngajarin kesadaran spiritual: “Jangan cuma kritis ke sistem global, kritis juga ke hatimu sendiri—udah subuhan belum?”

Sekolah Rakyat: Kolaborasi Epik

Nah, muncul gagasan “Sekolah Rakyat” sebagai tempat kawin silang antara Taman Siswa dan pesantren. Bayangkan ruang kelasnya: di depan ada guru pakai jas ala Ki Hajar, di sampingnya ada kiai dengan sarung, lalu papan tulisnya bertuliskan, “Hari ini kita belajar Matematika dan Maqomat.”

Sekolah rakyat bisa jadi sekolah paling lengkap:

  • Siswa bisa belajar filsafat ala Freire, tapi tetap hafal doa makan.
  • Bisa kritis terhadap globalisasi, tapi tetap ingat posisi kaki saat sujud.
  • Bisa diskusi tentang kapitalisme, sambil ngopi di warung Bu RT.

Kesimpulan Jenaka

Kalau Taman Siswa itu otak, pesantren itu hati. Kalau digabung, sekolah rakyat bisa jadi tubuh yang sehat: mikir kritis, punya identitas budaya, dan nggak gampang lapar karena sudah terbiasa makan di dapur umum pondok.

Jadi, pertanyaan besar pendidikan kita bukan lagi “Mampukah sekolah rakyat meniru pesantren?” atau “Bisakah pesantren sekeren Taman Siswa?” tapi:
👉 “Mau nggak pemerintah berhenti bikin kurikulum yang tiap tahun ganti kayak tren TikTok, dan mulai serius meniru spirit dua model legendaris ini?”

Kalau iya, mungkin suatu saat anak-anak kita akan bilang:
“Sekolah itu bukan tempat menunggu jam pulang, tapi tempat belajar jadi manusia.”
—tentu sambil tetap berharap kantin nggak naik harga gorengan. 
abah-arul.blogspot.com., September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.