Kalau dunia pendidikan Indonesia ini sebuah sinetron, maka Taman Siswa dan pesantren adalah dua tokoh utama yang kadang kompak, kadang bersaing, tapi sama-sama punya jurus sakti. Bedanya, Taman Siswa tampil rapi dengan jas ala Ki Hajar Dewantara, sementara pesantren datang dengan sarung kotak-kotak dan sandal jepit, tapi dua-duanya sama-sama bikin Belanda garuk-garuk kepala dulu.
Taman Siswa: Sekolahnya Pak Guru Filosofis
Ki Hajar Dewantara itu mirip Yoda-nya Star Wars—bijak,
sabar, dan penuh semboyan. “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut
wuri handayani” kalau diterjemahkan ke bahasa anak sekarang mungkin jadi:
- Ing
ngarso sung tulodo → “Kalau jadi ketua kelas, jangan cuma galak,
kasih contoh dong.”
- Ing
madyo mangun karso → “Kalau lagi nongkrong bareng, jangan cuma
rebahan, ayo semangat.”
- Tut
wuri handayani → “Kalau sudah tua, jangan nyinyir, cukup jadi
motivator.”
Pokoknya, Ki Hajar mau bikin pendidikan yang bikin anak-anak
bisa mikir sendiri, bukan robot penghafal rumus. Kalau zaman sekarang, mungkin
beliau bikin startup edtech dengan tagline: “Sekolah Merdeka, Bukan
Sekolah Merdeka Belanja di Mall.”
Pesantren: Kampus Sarungan yang Bandel
Sementara itu, pesantren ibarat franchise pendidikan
yang paling tahan banting. Sejak zaman Pangeran Diponegoro sampai Gus Dur,
pesantren sudah jadi semacam markas besar Avengers Nusantara. Bedanya, di sini
tidak ada Iron Man, adanya Iron Sarung—kiai-kiai yang karismanya
bikin jamaah rela antre panjang cuma untuk salaman.
Pesantren punya lima kekuatan super:
- Mandiri –
kurikulum bebas dari “iklan sponsor” luar negeri.
- Historis –
sanad ilmunya lebih panjang dari antrean BTS meal.
- Jaringan
luas – lebih rapi daripada jaringan MLM.
- Inklusif –
meski pintu masuknya sempit, hatinya luas.
- Kepemimpinan
karismatik – kalau kiai batuk, santri sudah siap ambil minyak
kayu putih.
Kalau Taman Siswa ngajarin kesadaran kritis ala Paulo
Freire, pesantren ngajarin kesadaran spiritual: “Jangan cuma kritis ke
sistem global, kritis juga ke hatimu sendiri—udah subuhan belum?”
Sekolah Rakyat: Kolaborasi Epik
Nah, muncul gagasan “Sekolah Rakyat” sebagai tempat kawin
silang antara Taman Siswa dan pesantren. Bayangkan ruang kelasnya: di depan ada
guru pakai jas ala Ki Hajar, di sampingnya ada kiai dengan sarung, lalu papan
tulisnya bertuliskan, “Hari ini kita belajar Matematika dan Maqomat.”
Sekolah rakyat bisa jadi sekolah paling lengkap:
- Siswa
bisa belajar filsafat ala Freire, tapi tetap hafal doa makan.
- Bisa
kritis terhadap globalisasi, tapi tetap ingat posisi kaki saat sujud.
- Bisa
diskusi tentang kapitalisme, sambil ngopi di warung Bu RT.
Kesimpulan Jenaka
Kalau Taman Siswa itu otak, pesantren itu hati. Kalau
digabung, sekolah rakyat bisa jadi tubuh yang sehat: mikir kritis, punya
identitas budaya, dan nggak gampang lapar karena sudah terbiasa makan di dapur
umum pondok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.