Rabu, 10 September 2025

Deja Vu Politik: Saat Kerusuhan Terasa Seperti Ulangan Drama Sinetron

Ada saat-saat dalam hidup kita ketika otak berkata, “Eh, kayaknya gue pernah lihat adegan ini deh.” Itulah yang para ilmuwan keren sebut deja vu. Tapi kalau adegan itu bukan sekadar potongan hidup pribadi, melainkan kerusuhan massal yang mirip-mirip dari negara ke negara, mungkin itu bukan sekadar salah sambung memori otak—tapi salah sambung nalar para pejabat.

Deja Vu di Kepala: Error System by Otak

Deja vu pribadi biasanya cuma bikin kita bengong sebentar. Misalnya, kita lagi makan bakso terus merasa, “Lah, kok kayaknya bakso ini pernah saya kunyah bulan lalu, dengan gaya ngunyah yang sama.” Padahal jelas beda—yang bulan lalu piringnya retak, sekarang sendoknya bengkok.

Para ilmuwan bilang, ini karena otak kita suka salah save file. Informasi baru langsung masuk folder "memori lama". Jadi wajar kalau terasa familiar. Masalahnya, kalau sering-sering, bisa jadi tanda ada korsleting di lobus temporal. Untung kebanyakan orang hanya mengalami 10 detik kebodohan manis, lalu lanjut hidup seperti biasa.

Deja Vu Sosial: Copy-Paste Kerusuhan

Nah, beda cerita kalau deja vu ini pindah ke ranah sosial-politik. Di Nepal, September 2025, pemerintah dengan gagah berani memblokir 26 platform medsos. Ibarat orang tua yang nyabut Wi-Fi pas anaknya lagi main Mobile Legends. Hasilnya? Tentu saja bukan ketenangan nasional, melainkan amarah Gen Z yang tiba-tiba sadar dunia nyata ternyata panas juga.

Yang menarik, pola kerusuhannya mirip banget dengan yang terjadi di Indonesia beberapa minggu sebelumnya. Di sini, rakyat ngamuk gara-gara DPR naik tunjangan dan kasus korupsi, sampai rumah pejabat ikut di-checkout kayak belanjaan Shopee. Di Nepal pun begitu: rumah Presiden, PM, bahkan parlemen disulap jadi "obral besar-besaran".

Lucunya, ada warga Nepal yang terang-terangan bilang di Twitter (eh, maksud saya X): “Terinspirasi Indonesia, kami pun unjuk rasa.” Bayangkan, Indonesia akhirnya punya soft power baru: bukan budaya, bukan musik, bukan kuliner—tapi tutorial gratis cara demo dan menjarah. UNESCO pasti bingung mau kasih penghargaan apa.

Kesimpulan: Dunia Jadi FTV Berulang

Jadi, kalau deja vu di otak itu cuma error singkat, deja vu sosial adalah error massal dengan efek asap dan sirene. Bedanya jelas: yang satu bikin kita tersenyum heran, yang lain bikin elit politik tersenyum pahit sambil hitung kerugian.

Intinya, dunia kini seperti FTV yang judulnya “Kerusuhan yang Tertukar”. Adegan bisa beda lokasi—Jakarta atau Kathmandu—tapi alurnya sama: pejabat pamer gaya hidup, rakyat ngamuk, rumah kebakaran.

Pelajaran untuk para pemimpin? Kalau tidak mau negeri Anda jadi episode berikutnya, janganlah main-main dengan keadilan sosial. Ingat, di era digital ini, setiap kesalahan elit bisa jadi viral challenge lintas negara. Hari ini Nepal, besok entah siapa. Toh, di dunia global, deja vu bukan lagi misteri otak, tapi misteri kenapa pejabat masih tetap nggak kapok.

abah-arul.blogspot.com., September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.