Ketua PBNU, Savic Ali, punya satu teori unik: di Indonesia sekarang hampir nggak mungkin ada yang benar-benar berniat makar. Alasannya? Partai politik kita sudah terlalu pragmatis. Alias, kalau ada meja makan kekuasaan, semua rebutan kursi. Kalau kursinya habis, ya rela duduk di bangku plastik belakang asal tetap dapat jatah nasi kotak.
Savic tampaknya ingin bilang: “Pak, makar itu udah
jadul. Yang ada sekarang itu parpol-makar, alias makaroni pragmatis: dimasak
sebentar, langsung ludes.”
🍜 Parpol Pragmatis:
Semua Ikut Pemerintah
Bayangkan ada kapal besar bernama “Pemerintah”. Semua partai
buru-buru naik kapal itu. Bukan karena percaya kapalnya kuat, tapi karena di
dalam kapal ada prasmanan gratis: nasi uduk, sate kambing, sampai es teh manis.
Jadi siapa yang mau susah payah bikin kudeta kalau sudah kenyang?
Di titik ini, demo-demo rakyat hanya terlihat seperti
keramaian pasar malam: ada yang nyanyi, ada yang teriak, ada juga yang lempar
petasan. Serius tapi penuh warna.
🔥 Kerusuhan: Bahasa
Orang Kesal
Jadi wajar kalau massa kadang meledak, entah spontan karena
saling dorong, atau karena ada tim khusus yang memang bawa korek gas cadangan.
Tapi Savic mengingatkan, jangan buru-buru ngecap “makar”. Bisa-bisa semua
tukang bakar sate dianggap dalang kudeta.
👮 Polisi dan Tim
Independen
Yang penting, kata Savic, polisi jangan jadi hakim sekaligus
terdakwa. Harus ada tim independen. Bayangkan kalau wasit sepak bola ikut main
sebagai striker—sudah pasti kacau, golnya dihitung ganda.
🎬 Penutup
Jadi, kalau ada demo besar lagi, jangan cepat-cepat sebut
“makar”. Karena makar di Indonesia sudah punah—kalah saing sama pragmatisme
parpol. Sekarang yang tersisa hanyalah rakyat lapar, parpol lapar jatah, dan
pemerintah yang sibuk memastikan prasmanan tetap tersedia.
Singkatnya: politik kita bukan lagi soal merebut
kekuasaan, tapi merebut piring terakhir di meja makan. 🍽️
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.