Ada sebuah ironi yang cukup lucu di dunia ini: kegagalan sering dianggap sebagai malapetaka, padahal sebenarnya itu hadiah berbungkus kertas koran. Sebaliknya, keberhasilan sering dianggap puncak anugerah, padahal kadang isinya jebakan betmen.
Bayangkan, ketika gagal, kita otomatis dapat “paket hemat”:
kesempatan muhasabah, refleksi, bahkan bonus doa yang lebih khusyuk. Sedangkan
ketika berhasil, seringkali kita malah berubah jadi orang yang terlalu percaya
diri, seperti aplikasi yang minta update tapi kita abaikan. Akhirnya, bukan
makin stabil, malah sering “force close”.
Lebih gawat lagi kalau keberhasilan itu tidak diimbangi
dengan kebijaksanaan. Orangnya bisa mabuk jabatan, lupa diri, dan—ini bagian
paling kocak sekaligus tragis—ekonomi orang lain bisa ikut terganggu.
Ibaratnya, dia dapat kursi empuk, tapi saking empuknya, orang lain jadi tidak
kebagian tempat duduk.
Sebenarnya tugas manusia itu sederhana: memakmurkan bumi,
bukan memonopoli bumi. Allah sudah kasih otak untuk mikir, kalkulator untuk
menghitung, bahkan reminder di hp supaya nggak lupa bayar listrik. Tapi tetap
saja, tanpa kesadaran spiritual, semuanya bisa jadi kacau.
Dan di sinilah analogi paling segar keluar: manusia yang
terhubung dengan Allah itu seperti hp dengan sinyal full bar. Semua permintaan
lebih gampang terkirim. Bahkan tanpa perlu ketik “Ya Allah”,
cukup push notification dari hati, sudah bisa sampai. Coba
bandingkan dengan hati yang sinyalnya lemah: doa sudah dikirim, tapi
statusnya pending, menunggu jaringan, kadang malah gagal kirim.
Jadi, kalau gagal jangan sedih—itu sebenarnya voucher
gratis untuk lebih dekat pada Allah. Kalau berhasil, jangan senang
duluan—cek dulu apakah sinyal hati stabil atau justru roaming di luar jaringan
kebijaksanaan. Karena siapa tahu, anugerah yang kita kira unlimited ternyata
cuma paket trial.
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.