Rabu, 24 September 2025

Ilmu di Atas Makrifat

Pernahkah Anda membayangkan seorang ulama penakluk jin, dengan tongkat sakti, wirid panjang, dan rajah penuh energi gaib… tiba-tiba merasa hampa seperti dompet tanggal tua? Itulah yang dialami Syekh Maulana. Beliau sudah menyeberangi lautan, mendaki gunung, bahkan bikin bangsa jin di Jawa meringkuk ketakutan. Tapi, tetap saja hatinya masih merasa kosong. Bahasa sekarang: "kok hidup gini-gini aja, ya Allah?"

Lalu, di tengah kabut Lawu yang dinginnya lebih menusuk daripada AC kos-kosan, muncullah sosok tambun sederhana: Kiai Semar. Penampilannya santai, perut buncit, pakai kain tradisional seadanya. Kalau dibandingkan, Syekh Maulana itu seperti tokoh utama film superhero, sementara Semar ini kayak tetangga yang suka ngasih singkong rebus. Tapi jangan salah, senyum Semar bisa bikin kabut meleleh, apalagi hati manusia.

Syekh Maulana langsung curhat: “Kiai, aku sudah syariat, hakikat, makrifat, bahkan jin pun nurut. Tapi kok masih berasa ada jarak dengan Gusti?”
Semar mengelus perutnya sambil tersenyum: “Lho, Seh… makrifat itu baru tepi pantai. Samudranya masih jauh di dalam. Kau baru basah-basah di pinggir, belum nyebur.”

Syekh Maulana melongo. Beliau ini kan ulama besar, rajahnya bisa bikin jin kabur ke hutan sebelah. Tapi ternyata, di mata Semar, beliau baru dianggap “main-main di pasir pantai”. Ironisnya, jin yang dulu ditundukkan malah sempat ngasih pujian: “Engkaulah penakluk Jawa! Engkaulah wali besar!” Persis kayak notifikasi Instagram: “Anda punya 999+ likes”. Subakir sempat hampir besar kepala, untung Semar segera menepuk tanah, bikin suara jin itu hilang seperti pulsa yang habis.

Pelajaran dari Semar makin bikin kening berkerut. Katanya, ilmu di atas makrifat itu bukan lagi tentang “aku mengenal Allah”, tapi tentang hilangnya “aku”. Kalau di dunia medsos, ini ibarat berhenti update status supaya orang tahu kita alim, lalu belajar tenang sampai Allah sendiri yang bikin postingan lewat hati kita.

Semar bahkan kasih contoh dengan batu kecil dilempar ke air. Katanya: “Kalau batu itu masih kelihatan, airnya beriak. Tapi kalau tenggelam, air jadi tenang. Itulah ilmu di atas makrifat: hilang tanpa nama.”
Syekh Maulana langsung baper. Beliau sadar selama ini masih doyan pujian, masih bangga bisa ngusir jin. Padahal, kata Semar, orang sakti menundukkan jin disebut berilmu, tapi orang yang menundukkan dirinya sendiri disebut bijaksana.

Malam makin larut, kabut makin tebal, tapi hati Maulana justru terang. Ia belajar bahwa kadang yang lebih susah daripada ngusir jin adalah… ngusir ego sendiri. Jin bisa dikunci dengan rajah, tapi nafsu cuma bisa dikalahkan dengan rendah hati.

Dan di situlah, ilmu di atas makrifat bukan cuma tentang kitab, wirid, atau kesaktian. Tapi tentang diam, rasa, dan kesadaran. Diam bukan berarti kosong—tanah diam bisa menumbuhkan padi, air diam bisa menumbuhkan kehidupan, dan hati diam bisa menumbuhkan rahasia Gusti.

Akhirnya, Syekh Maulana paham: selama ini ia sibuk dengan ilmu, tapi sering lupa dengan rasa. Padahal, kata Semar: “Ilmu tanpa rasa itu kayak pohon tanpa buah. Banyak daunnya, tapi gak bikin kenyang.”

Dan begitu fajar menyingsing di Lawu, Maulana duduk hening. Tidak lagi merasa jadi penakluk jin, tapi mulai belajar jadi penakluk dirinya sendiri. Sementara Semar, dengan senyum abadi, mungkin dalam hati berkata: “Alhamdulillah, satu lagi orang sakti sadar bahwa yang paling berat bukan lawan jin, tapi lawan ‘aku’ dalam dirinya.”

👉 Jadi, kalau kita merasa sudah pintar, sudah makrifat, sudah paham ini-itu, jangan buru-buru merasa di puncak. Bisa jadi, menurut standar Kiai Semar, kita baru main pasir di tepi pantai.

Mau tahu rahasia ilmu di atas makrifat? Sederhana: kurangi update status tentang kesalehan, perbanyak update diam di hati.

abah-arul.blogspot.com., September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.