Pernahkah Anda membayangkan seorang ulama penakluk jin, dengan tongkat sakti, wirid panjang, dan rajah penuh energi gaib… tiba-tiba merasa hampa seperti dompet tanggal tua? Itulah yang dialami Syekh Maulana. Beliau sudah menyeberangi lautan, mendaki gunung, bahkan bikin bangsa jin di Jawa meringkuk ketakutan. Tapi, tetap saja hatinya masih merasa kosong. Bahasa sekarang: "kok hidup gini-gini aja, ya Allah?"
Lalu, di tengah kabut Lawu yang dinginnya lebih menusuk
daripada AC kos-kosan, muncullah sosok tambun sederhana: Kiai Semar.
Penampilannya santai, perut buncit, pakai kain tradisional seadanya. Kalau
dibandingkan, Syekh Maulana itu seperti tokoh utama film superhero, sementara
Semar ini kayak tetangga yang suka ngasih singkong rebus. Tapi jangan salah,
senyum Semar bisa bikin kabut meleleh, apalagi hati manusia.
Syekh Maulana melongo. Beliau ini kan ulama besar, rajahnya
bisa bikin jin kabur ke hutan sebelah. Tapi ternyata, di mata Semar, beliau
baru dianggap “main-main di pasir pantai”. Ironisnya, jin yang dulu
ditundukkan malah sempat ngasih pujian: “Engkaulah penakluk Jawa!
Engkaulah wali besar!” Persis kayak notifikasi Instagram: “Anda punya
999+ likes”. Subakir sempat hampir besar kepala, untung Semar segera menepuk
tanah, bikin suara jin itu hilang seperti pulsa yang habis.
Pelajaran dari Semar makin bikin kening berkerut. Katanya,
ilmu di atas makrifat itu bukan lagi tentang “aku mengenal Allah”, tapi tentang
hilangnya “aku”. Kalau di dunia medsos, ini ibarat berhenti update status
supaya orang tahu kita alim, lalu belajar tenang sampai Allah sendiri yang
bikin postingan lewat hati kita.
Malam makin larut, kabut makin tebal, tapi hati Maulana justru terang. Ia belajar bahwa kadang yang lebih susah daripada ngusir jin
adalah… ngusir ego sendiri. Jin bisa dikunci dengan rajah, tapi
nafsu cuma bisa dikalahkan dengan rendah hati.
Dan di situlah, ilmu di atas makrifat bukan cuma tentang
kitab, wirid, atau kesaktian. Tapi tentang diam, rasa, dan kesadaran.
Diam bukan berarti kosong—tanah diam bisa menumbuhkan padi, air diam bisa
menumbuhkan kehidupan, dan hati diam bisa menumbuhkan rahasia Gusti.
Akhirnya, Syekh Maulana paham: selama ini ia sibuk dengan
ilmu, tapi sering lupa dengan rasa. Padahal, kata Semar: “Ilmu tanpa
rasa itu kayak pohon tanpa buah. Banyak daunnya, tapi gak bikin kenyang.”
Dan begitu fajar menyingsing di Lawu, Maulana duduk hening.
Tidak lagi merasa jadi penakluk jin, tapi mulai belajar jadi penakluk dirinya
sendiri. Sementara Semar, dengan senyum abadi, mungkin dalam hati
berkata: “Alhamdulillah, satu lagi orang sakti sadar bahwa yang paling
berat bukan lawan jin, tapi lawan ‘aku’ dalam dirinya.”
👉 Jadi, kalau kita merasa
sudah pintar, sudah makrifat, sudah paham ini-itu, jangan buru-buru merasa di
puncak. Bisa jadi, menurut standar Kiai Semar, kita baru main pasir di
tepi pantai.
Mau tahu rahasia ilmu di atas makrifat? Sederhana: kurangi
update status tentang kesalehan, perbanyak update diam di hati.
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.