Sapolsky, seorang ilmuwan yang juga sahabat akrab babun
Afrika, mencoba menjawab pertanyaan paling sulit sepanjang sejarah: “Kenapa
manusia itu kadang baik, kadang brengsek?” Jawabannya ternyata
panjang… sekitar 800 halaman. Jadi kalau Anda kira jawabannya cuma “karena
mantan,” Anda keliru besar.
Dari Detik ke Milenium
Buku ini disusun mundur, seperti film Tenet,
tapi tanpa adegan tembak-tembakan.
- Detik
sebelum perilaku: Otak kita sibuk main listrik-listrikan.
Amigdala bilang “marah!”, korteks prefrontal bilang “sabar, nanti ditilang
polisi.” Neurotransmitter macam dopamin ikut nimbrung, persis kayak
netizen di kolom komentar.
- Jam
hingga hari sebelumnya: Hormon-hormon datang ikut pesta.
Testosteron pakai jaket kulit, kortisol datang sambil panik, oksitosin
malah sibuk nyebarin undangan reuni keluarga.
- Bulan
hingga tahun: Lingkungan ikut campur. Kalau sejak kecil sering
disuruh antri jajan, besar kemungkinan Anda jadi warga negara taat hukum.
Kalau sejak kecil rebutan remot TV, ya siap-siap saja jadi anggota DPR.
- Ratusan
tahun lalu: Evolusi bicara. Sifat baik hati kita ada karena nenek
moyang yang kerja sama bisa bertahan hidup. Tapi sifat nyinyir juga
bertahan, mungkin karena nenek moyang kita juga butuh tukang gosip untuk
hiburan gua.
Ilusi Kehendak Bebas
Sapolsky agak usil: dia bilang free will itu ilusi.
Jadi kalau Anda terlambat kerja, jangan salahkan diri sendiri—salahkan gen,
lingkungan, dan nenek moyang Homo sapiens yang lebih suka tidur siang.
Masalahnya, kalau benar free will itu bohong, gimana nasib
pengadilan? Bayangkan hakim berkata:
“Saudara terdakwa tidak bersalah, yang bersalah adalah amigdala Anda. Silakan
amigdala maju ke depan.”
Humor Ilmiah ala Sapolsky
Sapolsky menulis serius tapi sering lucu. Misalnya, saat
membandingkan manusia dengan babun: babun bisa stres karena siapa yang duduk
dekat pohon pisang, sedangkan manusia stres karena… WiFi lemot. Sama-sama
stres, beda level teknologi.
Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihannya: buku ini bikin kita sadar bahwa perilaku
manusia itu kompleks, bukan sekadar “karena dia jahat” atau “karena dia baik.”
Kekurangannya: tebalnya hampir setara KBBI, dan setelah selesai
membacanya, kita tetap nggak bisa menjelaskan ke orang tua kenapa milih kuliah
filsafat.
Kesimpulan
Pada akhirnya, Behave adalah buku yang
ingin mengajarkan kita satu hal penting: sebelum Anda men-judge orang
lain, coba ingat betapa ribetnya otak, hormon, gen, dan sejarah yang bikin dia
begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.