Uraian Isi
Video ini menampilkan Elon Musk duduk manis (atau setidaknya
mencoba tampak manis) di markas Tesla, Austin. Dengan wajah setengah serius
setengah bosan, ia menembakkan kritik pedas pada apa yang ia sebut sebagai “propaganda
media warisan.” Menurutnya, media tradisional punya jurus sakti: membuat
orang percaya pada hal-hal yang tidak benar.
Contoh paling absurd? Saat Musk dituduh Nazi hanya
gara-gara gerakan tangan random di rapat. Padahal, katanya, ia cuma sedang
ngomong soal simpati dan perjalanan antariksa. Tapi kamera, headline, dan
algoritma berita lebih cepat menyulapnya jadi “Elon Musk Heil Space?”
Sementara itu, kontroversi politik tetap mengintai. Dukungan
Musk ke Trump menambah bahan bakar polarisasi. Media makin galak, Musk makin
ngegas. Hasilnya? Wawancara ini jadi bukan sekadar bincang-bincang, tapi duel
kata-kata: Musk vs Media.
Maksud
Pesan Musk sederhana tapi dilapisi bumbu khasnya:
- Media
warisan = tukang gosip kelas dunia.
- Gesture
tangan bukan kode rahasia. Kalau setiap orang yang mengacungkan tangan
dituduh Nazi, konser dangdut bisa bubar sebelum nyanyi ref.
- Sosial
media (X) = demokratis, tapi tentu dengan catatan bahwa demokratis
versi Musk artinya timeline penuh dengan retweet dirinya sendiri.
Intinya, Musk ingin bilang: “Hei dunia, jangan gampang
percaya media. Lebih baik percaya aku. Atau kalau nggak, minimal percaya pada
roketku.”
Analisis Jenaka
- Media vs Musk: Episode SinetronHubungan Musk dan media mirip pasangan toxic. Media tuduh Musk Nazi, Musk balas bilang media tukang bohong. Besoknya, keduanya tetap cari perhatian satu sama lain. Kalau ini sinetron, judulnya: Cinta dalam Polarisasi.
- Gesture Tangan sebagai Senjata PolitikLucunya, dunia bisa ribut hanya gara-gara jari yang salah posisi. Kalau begitu, pidato presiden dengan telunjuk menunjuk ke langit bisa ditafsirkan sebagai sinyal UFO. Atau guru TK yang ngajari anak-anak tepuk tangan bisa dicap sebagai “propaganda sinkronisasi massa.”
- Polarisasi: Makin Heboh, Makin LakuMusk tahu betul: semakin ia ribut dengan media, semakin banyak yang nonton, semakin besar saham atensi publik. Dalam hal ini, media dan Musk sebenarnya punya simbiosis: saling hina, tapi sama-sama untung.
- Paradoks X vs Legacy MediaMusk menuding media tradisional penuh propaganda, tapi di saat yang sama ia pakai X (punya dia) untuk menyebar narasi versinya. Ini mirip pedagang sate yang bilang, “Jangan makan sate tetangga, gosong semua. Sate saya lebih sehat.” Padahal sama-sama bakar arang.
- Implikasi DemokrasiKalau semua orang percaya Musk, media bisa bangkrut. Kalau semua orang percaya media, Musk bisa stres. Untungnya, manusia punya bakat alami: tidak percaya sepenuhnya pada keduanya, tapi tetap doyan drama keduanya.
Kesimpulan
Wawancara Elon Musk ini bukan sekadar obrolan CEO dengan
wartawan. Ia lebih mirip stand-up comedy politik dengan topik berat:
propaganda, demokrasi, dan polarisasi. Namun yang paling diingat publik
bukanlah isi roket atau mobil listrik, melainkan fakta bahwa:
👉 Satu gerakan tangan
Musk bisa mengguncang media global.
Mungkin benar kata Musk: propaganda media itu sangat
efektif. Tapi jangan lupa—propaganda Musk sendiri di X juga lebih cepat dari
roket SpaceX.
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.