Rabu, 17 September 2025

Charlie Kirk: Politik yang Lebih Lebay daripada Sinetron Azab

Kematian Charlie Kirk bukan sekadar berita duka, tapi sudah kayak season finale sinetron politik Amerika. Bedanya, kalau di sinetron azab ada ular karet, kuburan berasap, dan petir CGI murah meriah, di sini ada Elon Musk yang cuma ngetik satu kata: “True.” Dunia politik langsung jungkir balik, kayak grup WhatsApp keluarga yang ribut seminggu penuh gara-gara ada yang kirim stiker “oke bos.”

Terrence K. Williams buru-buru tampil jadi saksi karakter. Katanya, Kirk itu baik hati, tidak rasis, bahkan rela keluar duit buat membiayai ratusan pemuda Afro-Amerika ke Gedung Putih. Klaim ini mirip orang yang dituduh medit lalu mendadak traktir sekampung sate kambing dan es teler. Mau percaya susah, tapi kalau beneran ya kita siap antre piring.

Lalu masuk Elon Musk dengan jurus minimalist influencer. Satu kata: “True.” Hanya itu, tapi efeknya bisa bikin trending global. Kalau besok dia nulis “Maybe,” jangan kaget kalau harga saham anjlok, tukang sayur ikut demo, dan emak-emak pasar teriak: “Lah, bawang merah kok ikut naik juga gara-gara Musk?!”

Masalahnya, kematian Kirk bukan cuma soal siapa dia, tapi gimana orang-orang menafsirkan. Mirip konser K-pop: ada yang nangis histeris, ada yang ribut di kolom komentar, dan ada juga yang kehilangan kerja gara-gara update status kelewat semangat. Bahkan seorang hakim sampai nulis “Rest in Hatred and Division.” Kalau itu ditulis di buku tamu nikahan, pengantinnya mungkin langsung ganti acara jadi sidang cerai kilat.

Sementara itu, kubu konservatif balas lebih dramatis lagi. Demo besar-besaran, jumlahnya katanya lebih dari sejuta orang—kayak konser Taylor Swift feat. Donald Trump. Lalu ada usulan hukum buat mengusir siapa pun yang menghina Kirk dari media sosial. Kalau ini beneran jalan, separuh warga Amerika bakal terdampar di grup Telegram RT/RW, ngirim meme ayam geprek sambil ngomel politik.

Akhirnya, kita bisa lihat betapa absurdnya politik digital: orang mati bisa dijadikan brand, komentar satu kata bisa jadi senjata nuklir, dan status Facebook bisa bikin karier melayang. Demokrasi yang katanya arena dialog malah berubah jadi reality show tanpa skrip—penuh drama, penuh air mata, tapi tanpa sponsor iklan mi instan.

Jadi, kematian Charlie Kirk lebih pas disebut tragedi komedi. Pertanyaannya: masyarakat mau belajar mendengar atau masih betah binge-watching drama politik ini? Kalau terus-terusan, siap-siap aja nonton season berikutnya. Dan kalau bosan, ya tinggal ganti channel ke sinetron azab—yang ending-nya lebih bisa diprediksi: tokoh jahat pasti ketimpa tiang listrik sambil diseruduk kambing CGI.

abah-arul.blogspot.com.,September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.