Rabu, 17 September 2025

**Menjadi Muslim yang Berkahlah di Manapun Berada: Refleksi atas Universalitas Islam dan Optimisme**

Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Pesan universal ini mengajarkan bahwa kebaikan dan keberkahan Islam tidak terbatas pada geografi, suku, atau bangsa tertentu. Seorang Muslim yang hakiki adalah di mana pun ia berada, ia mampu menjadi sumber kebaikan dan keberkahan bagi lingkungan sekitarnya, sebagaimana doa Nabi Isa ‘alaihissalam yang diabadikan dalam Al-Qur'an, “Waja'alani mubarakan ainama kuntu” (Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada).

Prinsip inilah yang harus menjadi pedoman, terutama bagi Muslim yang hidup sebagai minoritas di negara-negara seperti Amerika Serikat. Kita tidak perlu merendahkan tanah air sendiri atau membanding-bandingkan kelebihan suatu negara dengan kekurangan negara lain. Jika sudah nyaman di Amerika, tidak perlu mengatakan Indonesia “gelap”. Jika sedang beribadah di Makkah, tidak perlu menyebut negara lain sebagai “tidak suci”. Setiap tempat memiliki keistimewaannya masing-masing, dan semua negara adalah milik Allah (Albiladu biladullah), semua manusia adalah hamba-Nya (wal ‘ibadu ‘ibadullah). Di mana pun kita menemukan kebaikan, di situlah kita boleh menetap dan berkontribusi.

Sebagai duta Islam di negara mayoritas non-Muslim, penting untuk menyampaikan pesan Islam dengan argumentasi yang kuat dan valid, merujuk langsung kepada Al-Qur'an dan Hadis-Hadis sahih. Ini bukan hanya untuk kekuatan internal, tetapi juga untuk meluruskan citra Islam yang sering kali dikaitkan dengan kekerasan dan ekstremisme. Islam justru adalah agama perdamaian. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 114, tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan, kecuali yang mengajak pada sedekah, berbuat kebaikan, atau perdamaian di antara manusia (islahim bainanas). Perhatikan, Allah menyebut “perdamaian antar manusia”, bukan hanya antar Muslim. Ini menunjukkan bahwa misi perdamaian Islam bersifat universal. Damai adalah fitrah, sementara perang membutuhkan alasan yang sangat spesifik dan terbatas, seperti membela diri dari kezaliman.

Dalam beribadah dan menjalankan tradisi, penting untuk berpegang teguh pada dalil-dalil yang kuat namun juga memahami konteksnya dengan pemahaman (analisis) ulama yang mendalam. Bersikap tekstual semata tanpa memahami maksud dan tujuan syariat (maqashid syariah) bisa menyesatkan. Contohnya, larangan jual beli saat azan Jumat bukan berarti segala aktivitas lain diperbolehkan; ulama memahami bahwa larangan itu mencakup segala hal yang dapat mengalihkan dari kewajiban Jumat. Begitu pula dalam memahami ayat-ayat tentang hubungan mahram, diperlukan pendalaman dari para ulama untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.

 

Tradisi lokal seperti tahlilan dan istighasah sering dikritik karena dianggap tidak memiliki landasan yang kuat. Alih-alih memaksakan dalil spesifik untuk ritual tertentu, akan lebih baik jika kita berpegang pada kaidah umum yang jauh lebih kuat: bahwa melafalkan kalimat thayyibah (seperti kalimat tahlil) adalah perbuatan baik yang sangat dianjurkan kapan pun dan di mana pun (uzkurullah zikran katsira). Esensinya adalah memperbanyak zikir, bukan memperdebatkan jumlah dan waktunya. Pendekatan ini lebih rasional dan dapat diterima oleh semua kalangan.

Pesan terpenting yang dapat dipetik adalah bahwa Islam adalah agama harapan (liman yarjuuhu). Lihatlah sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat dilempari batu hingga berdarah-darah oleh penduduk Thaif, beliau menolak tawaran malaikat untuk menghancurkan mereka. Nabi berharap bahwa dari keturunan merekalah akan lahir generasi yang beriman. Harapan itu terbukti. Anak-anak dari musuh bebuyutan Nabi seperti Abu Jahal dan Abu Lahab justru menjadi Muslim yang taat dan pahlawan Islam.

Sejarah Indonesia juga membuktikan hal ini. Dari yang awalnya bukan Muslim, melalui dakwah para wali seperti Sunan Ampel dan ulama besar seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Indonesia tumbuh menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang berkualitas. Jangan pernah berhenti berharap pada perbaikan. Jangan karena orang tuanya belum paham agama, lalu kita putus asa. Teruslah berdakwah dengan lembut dan penuh hikmah, karena dari keturunan merekalah bisa lahir para hafizh dan ulama.

Hidup ini adalah ujian, baik dalam keadaan miskin maupun kaya, di timur maupun di barat. Tantangan dan “problem” adalah sunatullah dalam perjuangan. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin, membawa kedamaian, dan selalu optimis menatap masa depan. Dengan demikian, di mana pun kita berada, kita akan menjadi Muslim yang penuh berkah—menebar kebaikan, bukan cercaan; membawa damai, bukan permusuhan; dan selalu menjadi agen pembawa harapan bagi kemajuan umat dan bangsa.

abah-arul.blogspot.com., September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.