Kalau pesantren diibaratkan manusia, mungkin ia sudah sepuh: berjenggot putih, tongkat kayu, tapi diam-diam masih update status WhatsApp pakai filter love-love. Bayangkan, pesantren adalah lembaga pendidikan paling tua di Nusantara—lebih tua dari gedung DPR, lebih tahan banting dari partai politik, dan lebih konsisten daripada janji-janji kampanye.
Dulu, pesantren dikenal sebagai tempat mencetak mutafaqihina fiddin—santri yang hafal kitab kuning sampai huruf koma-poinnya. Tapi zaman sudah berubah. Kalau dulu santri cuma bawa sorban, sekarang mereka bawa laptop, install aplikasi coding, tapi tetap baca Imriti. Jadi jangan heran kalau ada santri yang bisa menjelaskan perbedaan fa’il dan maf’ul bih sambil ngoding website marketplace pecel lele online.
Tantangannya? Banyak! Mulai dari gosip miring sampai tuduhan macam-macam. Kadang pesantren difitnah lebih ngeri dari gosip selebriti di infotainment. Tapi kalau pesantren roboh, siapa yang jaga “benteng Islam”? Masa kita mau serahkan semuanya ke YouTuber dakwah yang kalau salah komentar langsung ngegas “astaghfirullah” sambil jualan parfum sunnah?
Makanya, pesantren perlu strategi al-muhafadzah ala al-qadim as-shalih—alias menjaga tradisi lama yang baik. Tapi jangan salah paham, ini bukan berarti masih harus pakai kapur tulis sampai batuk-batuk. Tradisi lama yang baik boleh dipertahankan, tapi tradisi lama yang bikin debu menempel di paru-paru ya ditinggalin saja. Lalu, ada juga al-akhdzu bil jadid al-aslah—mengambil yang baru dan lebih baik. Kalau dulu santri nyatet pakai buku 200 halaman, sekarang boleh dong pakai tablet, asal jangan pas lagi ngaji malah colongan main Mobile Legends.
Kemandirian ekonomi juga penting. Kalau dulu umat Islam pakai sistem ribawi kayak darurat tayamum, sekarang sudah ada ekonomi syariah—jadi tinggal wudhu beneran. Bayangkan pesantren punya bank syariah sendiri. Nggak ada lagi istilah “uang kas hilang” karena bendahara kabur. Atau pesantren punya asuransi syariah: “Paket Aman Mondok—hilang sandal diganti, hilang kitab diganti, hilang hati? Itu urusan lain.”
Dan jangan lupa, pesantren butuh pemimpin masa depan. Kiai-kiai harus pegang dua komitmen: mitsaq rabbani (komitmen kepada Allah) dan mitsaq watani (komitmen kebangsaan). Jadi santri yang lahir dari pesantren bisa jadi ulama, bisa juga jadi menteri. Tapi harap dicatat: kalau sudah jadi pejabat, jangan lupa tetap pakai peci—biar nggak lupa asal-usul.
Akhirnya, pesantren memang tidak boleh diam. Kata Al-Qur’an, “Gerakkanlah pohon kurma itu, nanti buahnya jatuh.” Artinya, pesantren jangan cuma nunggu donatur, tapi harus inovatif. Kalau perlu, bikin startup syariah: “PesantrenMart—belanja kitab kuning, dapat bonus kurma.”
Jadi, selama pesantren terus berbenah, santri akan lahir sebagai generasi unggul. Unggul bukan cuma di kelas, tapi juga unggul ketika rebutan antre mandi. Mereka bukan hanya ahli agama, tapi juga pemakmur bumi—yang bisa bikin ceramah sambil ngelola bisnis ayam geprek tanpa riba.
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.