Hidup ini memang penuh paradoks. Ada orang yang harus sekolah bertahun-tahun demi bisa resmi memegang gunting, sementara ada yang cukup bermodal ijazah SMA sudah boleh memegang palu hakim—dan palu itu bukan buat memaku kursi goyang, tapi buat menentukan nasib hidup orang.
Inilah absurditas yang jadi bahan gosip politik di Amerika. Akun konservatif @amuse bersuara lantang: “Masa jadi tukang cukur butuh 1.200 jam pelatihan, sementara jadi hakim cukup modal raport UN?” Kesan yang ditangkap: memotong poni lebih berbahaya daripada memutuskan kasus pembunuhan.
Hiperbola ala Salon Politik
Bayangkan skenarionya. Si Andi ingin jadi tukang cukur di West Virginia. Ia harus hafal anatomi kepala, cara menyapa pelanggan, sampai jurus fade level dewa. Lulusannya bukan main: Master of Hair-riture.
Sementara itu, di ruang sidang, ada Budi yang cukup lulus SMA. Tiba-tiba ia dipanggil: “Selamat, Anda jadi hakim!” Tanpa kursus basic haircut apalagi advanced justice, ia langsung bisa memutus: “Terdakwa dibebaskan, sidang ditutup!”
Kalau begini, tak heran publik geleng-geleng kepala. Di salon, salah potong bisa bikin nangis seminggu. Di pengadilan, salah putus bisa bikin tragedi seumur hidup.
Sejarah yang Tak Dicuci Blow-dry
Namun, datanglah akun kritis @AIHUMANALLY yang bilang: “Tunggu dulu, ini bukan gara-gara DEI, bro.” Katanya, sistem hakim minim syarat itu warisan lama. Dulu di pedesaan, nggak ada dana buat gaji hakim keren, jadi siapa pun yang kelihatan rajin ikut rapat RT bisa langsung dilantik. Tradisi ini dibiarkan berjalan, sampai tiba-tiba muncul hakim kulit hitam atau perempuan, eh barulah banyak yang bilang: “Waduh, standar kita menurun!”
Lucunya, ketika hakim mayoritas kulit putih diangkat tanpa lisensi, dianggap “tradisi lokal”. Tapi begitu minoritas masuk, jadi “erosi standar.” Seperti pelanggan yang tiap minggu ganti gaya rambut, tapi kalau tetangga coba model baru, langsung dibilang: “Ih jelek!”
Masalah Ganda: Dari Salon sampai Sidang
Dua-duanya ada benarnya. Memang hakim perlu syarat yang lebih tinggi—masa kalah sama tukang cat kuku? Tapi aturan jadi tukang cukur juga kelewat ribet. Mau masuk kerja, rakyat kecil harus bayar sekolah mahal hanya untuk belajar cara memegang sisir.
Ironinya, tukang cukur dan hakim sama-sama terjebak: yang satu over-regulated, yang lain under-qualified. Jadi pilihannya: mau cukur poni dengan harga selangit, atau sidang kasus dengan risiko hakimnya masih ngantuk gara-gara tugas sekolah malam sebelumnya?
Kesimpulan: Butuh Reformasi, Bukan Hairspray
Jadi, masalah ini jangan disemprot hairspray politik kiri-kanan. Rambut bisa tumbuh lagi, tapi reputasi hukum yang salah potong sulit tumbuh kembali.
Solusinya? Hakim harus punya kualifikasi tinggi—setidaknya setara dengan tukang cukur kelas premium. Dan aturan tukang cukur harus lebih waras—jangan bikin orang miskin jadi makin botak sebelum sempat pegang gunting.
Karena pada akhirnya, masyarakat butuh dua hal: kepala yang rapi dan hukum yang adil. Kalau bisa, jangan sampai lebih mudah cari hakim daripada cari tukang cukur yang bisa bikin poni rata.
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.