Pejabat publik seharusnya jadi contoh. Tapi apa daya, banyak yang malah jadi tontonan. Rakyat sudah antre minyak goreng, eh pejabatnya pamer jam tangan yang harganya bisa buat beli gorengan seumur hidup. Katanya wakil rakyat, tapi lebih sering jadi wakil mall dan butik internasional.
Gaji mereka luar biasa, tunjangan pun bikin rakyat melongo.
Tapi yang bikin lebih ngilu, mereka malah bangga pamer barang branded di media
sosial. Padahal rakyat sedang berjuang bayar cicilan panci arisan. Akibatnya?
Ya wajar kalau rakyat ngamuk. Ada yang demo, ada pula yang nekat menjarah.
Kalau dibiarkan, bisa-bisa rakyat lebih hafal brand tas pejabat daripada isi
program pemerintah.
Sejarah mencatat, ada pejabat-pejabat dulu yang lebih
memilih hidup sederhana. Mohammad Natsir ke kantor naik sepeda—bukan sepeda
lipat mahal, tapi sepeda yang kalau sekarang masuknya kategori "sepeda
onthel nostalgia". Bung Hatta sampai akhir hayatnya tidak pernah bisa
membeli sepatu Bally, padahal beliau wakil presiden! Bandingkan dengan pejabat
sekarang yang bisa punya koleksi sepatu lebih banyak dari katalog toko online.
Agus Salim malah rumahnya bocor, sampai ember harus ditaruh di sana-sini. Kalau
pejabat zaman now, jangankan bocor, keran wastafelnya aja bisa pakai sensor
otomatis.
Di titik inilah, asketisme jadi obat. Hidup sederhana bukan
berarti miskin, tapi tanda empati. Kalau pejabat ikut ngantri bensin
sekali-sekali, rakyat bisa merasa “wah, ternyata kita sama-sama manusia.” Tapi
kalau pejabat malah belanja helikopter buat mudik, jangan heran rakyat akhirnya
memilih mudik ke rumah pejabat—dengan rombongan massa.
Kesimpulannya, rakyat tidak minta pejabat makan mi instan
tiap hari. Yang penting jangan bikin rakyat merasa sedang nonton “drama Korea”
setiap kali pejabat tampil dengan outfit-of-the-day. Karena keteladanan itu
lebih indah daripada koleksi tas Hermes.
abah-arul.blogspot.com., September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.