Sidang RAPBN 2026 di DPR awalnya berjalan rapi, seperti seminar keuangan yang sopan dan penuh angka triliunan. Tapi suasana langsung berubah begitu Presiden Prabowo menyebut kata yang membuat ruang sidang berguncang: “Tantiem Rp 40 miliar… rapat sebulan sekali… perusahaan rugi!”
Sekilas, kata “tantiem” terdengar keren. Mirip nama tokoh di
film fantasi: Tantiem, Penyihir Angka. Tugasnya? Menyulap laporan
keuangan merah jadi alasan bagi komisaris untuk tetap tersenyum lebar di akhir
tahun.
Menurut aturan resmi, tantiem itu sah—diberikan kalau
perusahaan untung dan kinerjanya mentereng. Tapi di dunia BUMN versi kreatif,
kinerja bisa diukur bukan dari laba, melainkan dari indikator misterius seperti
“rapat tepat waktu”, “pakaian seragam rapi”, atau “senyum di
depan kamera”.
Presiden pun geleng-geleng. Beliau seperti sedang menonton
pertandingan sepak bola di mana timnya kalah 0-5, tapi kapten tim tetap
mendapat bonus “pemain terbaik” karena… berhasil datang ke stadion.
Bagi publik, ini seperti sinetron komedi. Ada karakter
komisaris yang kerja bulanan cuma selembar agenda rapat, tapi slip gajinya
tebalnya seperti buku telepon era 90-an. Kalau dihitung, setiap anggukan kepala
di rapat mungkin setara gaji setahun pegawai biasa.
Makanya, Prabowo menyebutnya “akal-akalan”. Secara
hukum aman, secara moral… ya seperti bilang “saya diet” sambil makan kue satu
loyang.
Dan untuk mengakhiri babak sihir ini, Presiden memanggil
“Danantara”—bukan nama superhero, tapi lembaga yang konon bakal merapikan semua
ini. Semoga saja, setelah dibenahi, tantiem kembali jadi bonus prestasi, bukan
penghargaan tahunan bagi keahlian menandatangani absen.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.