Mari kita jujur. Kalau bicara soal difabel di negeri ini, seringkali yang lebih “cacat” itu bukan tubuhnya, tapi logika sosial kita. Masjid megah bisa dibangun dengan kubah emas, tapi jalur kursi roda? Ah, itu dianggap sunah muakkadah.
Kita suka teriak “Islam rahmatan lil ‘alamin”, tapi coba lihat fasilitas umum: jalur landai lebih sering dipakai buat parkir motor ketimbang dipakai difabel. Kalau ada difabel mau lewat, eh malah disuruh sabar. Seolah-olah sabar itu bisa menggantikan fungsi rem kursi roda.
Dari “Kasihan” ke “Setara”
Fiqih klasik sering memandang difabel
dalam kategori udzur alias dapat keringanan. Akibatnya, masyarakat jadi
santai: “Sudah lah, toh mereka boleh shalat di rumah.” Nah lho, berarti bukan
difabel yang dimudahkan, tapi masyarakat yang malas bikin akses!
Kiai Imam Azis dengan gagasan Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas menampar logika ini. Beliau bilang: “Inklusif itu bagian dari tauhid.” Terjemah bebasnya: kalau kamu masih diskriminatif, berarti kamu tidak paham Tuhan. Jadi, jangan sok saleh kalau masih memandang difabel hanya sebatas objek santunan 10 Muharram.
Lintas Iman, Lintas Beton
Bedah buku soal fiqih disabilitas bahkan melibatkan pendeta dan pastor. Mereka sepakat bahwa semua manusia adalah citra Tuhan. Luar biasa. Jadi kalau masih ada masjid atau gereja tanpa akses ramah difabel, artinya arsiteknya lebih paham beton daripada teologi.
Tiga Tembok (dan Satu Bonus)
Ada tiga tembok yang disebut para
aktivis:
- Tembok
diri sendiri – minder, malu, merasa tidak mampu.
- Tembok
keluarga – terlalu protektif, seperti ayam mengurung anaknya di kandang.
- Tembok
sosial – stigma, diskriminasi, fasilitas ala kadarnya.
Tapi menurut saya ada tembok keempat: tembok birokrasi. Karena jangankan difabel, orang normal pun sering kesandung aturan absurd. Coba saja urus KTP, kita semua mendadak “tuna-sabar”.
Penutup: Tangga Surga
Fiqih disabilitas mengajarkan bahwa setiap manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna. Kalau begitu, surga tentu ramah difabel. Yang jadi soal, bagaimana kalau pintu surganya ternyata masih pakai tangga?
Mungkin malaikat akan tersenyum dan berkata:
“Silakan masuk... tapi yang mendapat jalur landai hanya mereka yang di dunia pernah memperjuangkannya.”
Artinya, bukan difabel yang diuji, melainkan kita semua: apakah sudah benar-benar memahami makna rahmatan lil ‘alamin, atau masih sibuk membangun kubah emas tanpa memikirkan pijakan kaki—dan roda—sesama.
abah-arul/blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.