Kalau Indonesia tahun 1999 itu manusia, mungkin sudah opname di ICU: ekonomi megap-megap, utang segunung, dan rakyat terengah-engah beli beras. Lalu masuklah seorang kiai nyentrik bernama Abdurrahman Wahid—alias Gus Dur—yang dengan santainya bilang, “Tenang, jangan panik, nanti juga sembuh.” Dan anehnya, benar sembuh.
Di tangan Gus Dur, ekonomi yang minus langsung dicetak jadi
plus. Ekspor melonjak, utang bisa ditekan, gini ratio turun sampai level
"adil banget", dan harga beras stabil tanpa harus impor. Pokoknya,
kalau ekonomi itu sinetron, episode Gus Dur adalah bagian “pemeran utama
bangkit dari keterpurukan dengan cara anti-mainstream”.
Menolak IMF: Bayangkan, saat negara lain manut
saja pada resep IMF yang pahit seperti jamu basi, Gus Dur malah bilang, “Kita
bikin jamu sendiri, rasanya pahit sih, tapi lebih sehat dan asli.” Ia
melindungi UMKM, petani, dan menolak supermarket asing yang bisa bikin warung
Bu RT gulung tikar.
Petani Tersenyum: Bulog dipakai bukan untuk
kongkalikong elite, tapi untuk beli gabah petani dengan harga wajar. Alhasil,
petani desa bahagia, orang kota tidak ribut soal beras, dan semua bisa makan
dengan damai.
Rating Internasional Naik: Lucunya, ketika
rakyat santai, justru Moody’s dan S&P (yang biasanya cerewet) malah kasih
jempol. Kalau ini film, Gus Dur berhasil bikin “ekonomi santuy” dengan ending
sementara yang bahagia.
Dari Jawa ke Luar Jawa: Mencegah Negara Jadi Retak-Retak
Era Orde Baru itu Jawa-sentris banget, sampai-sampai pulau
lain mungkin merasa jadi “anak kos yang numpang makan tapi tak pernah diajak
ngobrol”. Gus Dur sadar, kalau terus begini, Indonesia bisa pecah kayak piring
jatuh.
Maka lahirlah ide desentralisasi: daerah diberi otonomi,
sumber daya bisa dikelola sendiri. Papua dikasih nama sesuai jati dirinya,
bukan lagi “Irian Jaya” versi Orde Baru. Aceh diajak dialog, bukan dikepret
pakai senjata.
Singkatnya, Gus Dur mencoba bikin Indonesia seperti keluarga
besar di mana anak-anaknya punya kamar sendiri, bukan semua harus rebutan kasur
di ruang tamu Jawa.
Lalu, Kenapa Gus Dur Dilengserkan?
Nah, di sinilah komedinya berubah jadi satire.
Meski ekonomi melesat, Gus Dur tetap dilengserkan. Alasannya? “Skandal Bulogate”, “Dekrit Presiden”, sampai tuduhan gaya kepemimpinan erratic. Padahal kalau jujur, banyak politisi saat itu lebih takut kehilangan kursi empuk daripada kehilangan ekonomi sehat.
Gus Dur dianggap terlalu liberal: membela minoritas,
anti-mafia ekonomi, dan berani melawan elite Orde Baru. Kalau ini pertandingan
sepak bola, Gus Dur adalah pelatih yang bikin tim menang, tapi dipecat karena
dianggap “terlalu cerewet di pinggir lapangan”.
Penutup: Ironi yang Terjadi
Lengsernya Gus Dur adalah bukti bahwa di Indonesia, ekonomi
sehat tidak selalu sejalan dengan politik sehat. Rakyat mulai tersenyum, tapi
elite justru manyun.
Namun, warisan Gus Dur tetap hidup: keberanian melawan arus,
pluralisme, dan semangat keadilan sosial. Bahkan setelah dilengserkan, kisahnya
jadi seperti humor khas beliau sendiri: pahit, tapi bikin ketawa, lalu
bikin mikir.
Abah-arul.blogspot.com.,
Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.