Pendidikan kita sedang berada di persimpangan jalan: satu jalur menuju kelas dengan papan tulis berdebu, kapur yang bunyinya bikin gigi ngilu, dan guru yang tiap hari bilang, “Jangan lupa PR!”; sementara jalur lainnya menuju dunia futuristik, di mana murid bisa belajar langsung dari robot yang tak pernah capek, tak pernah marah, dan, sayangnya, juga tak pernah bisa ditraktir bakso.
1. Ketahanan Sistem Pendidikan Konvensional: Guru vs Google
-
Menenangkan murid yang putus cinta saat ujian Matematika.
-
Memberi nilai dengan pertimbangan “kasihan, anaknya sering disuruh jemput adik.”
-
Atau memberi hukuman kreatif, seperti berdiri di depan kelas sambil nyanyi Mars Pancasila.
Coba bayangkan AI disuruh melakukan itu. Paling banter robotnya bilang, “Error 404: Empati not found.”
2. Pendapat Para Ahli: Dari yang Bijak Sampai yang Bingung
Para ahli sudah ramai-ramai kasih komentar. Ada yang bilang AI itu alat bantu, ada yang khawatir nanti malah makin memperlebar kesenjangan. UNESCO bahkan sudah bikin acara serius: Digital Learning Week. Tapi saya yakin, kalau ada Snack Learning Week, pasti murid lebih semangat datang.
Sementara itu, ahli dalam negeri mewanti-wanti: jangan buru-buru pakai AI tanpa infrastruktur. Masalahnya, infrastruktur kita kadang seperti WiFi gratisan di kafe: ada sih, tapi putus nyambung, bikin emosi.
3. Masa Depan: Sekolah Ada atau Cuma Tinggal Kenangan?
Ada dua skenario.
-
Optimis: Sekolah tetap ada, tapi lebih modern. Guru berubah jadi mentor bijak, mirip Master Yoda, cuma bedanya ini Master Yuda dari Bekasi.
-
Pesimis: Sekolah hilang. Anak-anak belajar dari rumah pakai VR, lengkap dengan guru hologram. Sayangnya, kalau hologramnya error, bisa-bisa guru VR malah muncul di dapur pas ibu lagi goreng tempe.
Dan dengan kecepatan perkembangan AI, jangan kaget kalau tahun 2030 nanti anak-anak sekolahnya bukan lagi pakai seragam putih abu, tapi pakai kacamata VR sambil rebahan di kasur.
4. Strategi Adaptasi: Jangan Jadi Fosil Digital
-
Guru: harus upgrade diri. Kalau dulu sibuk bikin RPP, sekarang bisa minta AI yang bikinin. Tinggal periksa jangan sampai salah: jangan sampai materi Biologi tiba-tiba nyasar ke resep sate Madura.
-
Murid: jangan kebanyakan copy-paste dari AI. Kalau tugas esai jawabannya sama semua, nanti guru tinggal tanya, “Ini tugas atau hasil print massal?”
-
Sekolah & Pemerintah: jangan cuma bikin kurikulum, tapi juga bikin WiFi sekencang rumor artis. Kalau internetnya lemot, jangankan belajar AI, buka Google aja bisa tamat zuhur dulu.
5. Kesimpulan: Pendidikan Tidak Mati, Cuma Ganti Kostum
AI tidak akan membunuh sekolah, tapi akan membunuh cara belajar jadul yang isinya cuma “hafal, ulangan, lupa.” Guru yang lentur dan bisa berdialog dengan AI akan tetap berjaya. Guru yang kaku? Maaf, akan jadi bahan nostalgia kayak walkman.
Jawabannya ada pada kita… dan tentu saja pada koneksi internet rumah masing-masing.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.