Sejarah Indonesia sering kali terdengar seperti sinetron yang diproduseri Belanda. Bayangkan saja: kolonial yang selama ini terkenal suka menindas, tiba-tiba datang membawa konsep manis bernama Politik Etis, alias “politik balas budi”. Kedengarannya romantis, seperti mantan yang bilang, “Aku sadar aku salah, sekarang aku mau berubah.”
Eh, tapi kita semua tahu: biasanya mantan begitu hanya kalau lagi butuh
tumpangan motor.
Pertanyaan mendasar: sejak kapan penjajah punya etika? Kalau
Belanda benar-benar mau balas budi, mestinya mereka bayar utang pajak VOC dulu.
Ini tidak. Yang mereka balas justru dengan cara membuka sekolah, bikin jalan,
dan memperkenalkan birokrasi gaya barat. Bahasa halusnya: memberi hadiah.
Bahasa kasarnya: ngajari pribumi jadi pegawai rendahan agar kolonial lebih
hemat biaya operasional.
Priyayi: Dari Jubah ke Jas
Politik Etis disambut gegap gempita oleh kaum priyayi.
Mereka masuk sekolah, belajar bahasa Belanda, lalu mendadak merasa lebih keren
daripada tetangga. Kalau dulu tanda kebangsawanan itu keris dan batik, sekarang
berubah jadi dasi dan sepatu kulit. Konon ada priyayi yang rela
berfoto dengan gaya tegap ala tentara Eropa, padahal jabatan resminya cuma juru
arsip.
Jadilah muncul kasta baru: priyayi birokrat rasa
Eropa. Mereka jadi versi awal “pegawai negeri sipil” yang lebih sibuk
mengatur stempel daripada memikirkan rakyat.
Pesantren: Ninja Senyap di Lereng Gunung
Di sisi lain, pesantren memilih jalur berbeda. Mereka tidak
ikut kursus bahasa Belanda, tidak pakai jas, apalagi ikut seminar kolonial
bertema “Membangun Nusantara yang Produktif”. Pesantren justru bergerilya dari
lereng gunung, pinggir sungai, sampai desa terpencil. Kalau diibaratkan film,
mereka ini semacam “ninja” pendidikan. Diam-diam mengaji, tapi hasilnya bisa
bikin penjajah ketar-ketir.
Bedanya dengan ninja Jepang, santri tidak pakai pedang, tapi
kitab kuning. Dan percayalah, kitab kuning kalau dilempar juga lumayan sakit.
Balas Budi atau Budi Beli?
Politik Etis digadang-gadang sebagai “balas budi” Belanda
kepada pribumi. Tapi lama-lama terasa lebih mirip “budi beli”: kita
yang beli, mereka yang untung. Orang pribumi dapat sekolah, iya, tapi tujuannya
supaya bisa kerja di pabrik gula, perkebunan, atau jadi juru tulis kolonial.
Semacam training gratis sebelum tanda tangan kontrak magang.
Pesantren tidak tertipu. Kiai-kiai sadar, “Lha wong ini
jelas-jelas jebakan Batman!” Maka mereka tetap istiqamah mendidik santri dengan
spirit anti-penjajah. Hasilnya, banyak tokoh perlawanan lahir dari dunia
pesantren—mulai dari yang orasi di mimbar, sampai yang angkat senjata di medan
perang.
Sumbu Konflik: Siapa yang Menang?
Akhirnya, lahirlah dua kutub:
- Kaum
priyayi lulusan Politik Etis: gaya barat, birokrat, suka rapat.
- Kaum
santri pesantren: gaya sarungan, anti penjajah, suka ngaji.
Kalau dilihat dari luar, seakan-akan bangsa ini punya dua
jalan menuju masa depan: satu lewat jalan beraspal Belanda, satu lagi lewat
jalan setapak di kampung. Bedanya, yang jalan aspal sering macet, sementara
jalan kampung meski becek tetap tembus.
Dan benar saja, meski kaum priyayi lebih dulu membentuk
organisasi modern seperti Budi Oetomo, tapi semangat perlawanan yang gigih
justru bertahan di pesantren. Mereka yang menyimpan bara perjuangan, bahkan
ketika kolonial menawarkan “balas budi” yang lebih mirip “utang budi tak pernah
lunas.”
Penutup: Sejarah atau Komedi Situasi?
Maka, kalau hari ini kita membaca kembali kisah Politik
Etis, rasanya seperti menonton komedi situasi kolonial. Belanda
berperan sebagai mantan toxic yang pura-pura baik, priyayi jadi fans berat gaya
Eropa, sementara pesantren memilih jadi pemeran underground yang
diam-diam mengatur plot twist.
Dan pada akhirnya, kita tahu siapa yang lebih tahan lama:
jas ala Eropa bisa ketinggalan zaman, tapi sarung santri tidak pernah basi.
abah-arul.blogspot.ccom., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.