
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, selama ada makanan dan minuman dijual, siap-siaplah kena Pajak Restoran atau Pajak Bangunan 1 (PB1). Jadi, meskipun cuma jual sate usus dan wedang jahe, kalau omsetnya di atas Rp7,5 juta per bulan di Solo, Bapenda bisa datang sambil berkata manis, “Halo, kami dari negara. Ini pajaknya, ya.”
Bayangkan, angkringan Mas Bejo yang biasanya cuma khawatir sama tikus dan kucing liar, sekarang harus menghitung omset dan menatap masa depan penuh ketidakpastian. Mas Bejo pun berbisik lirih ke gerobaknya,
"Gerobak, mulai hari ini kita resmi jadi restoran. Mohon kerja samanya."
Belum selesai pusing soal omset, ternyata spanduk juga bisa bikin masalah. Kalau spanduk cuma bertuliskan “Angkringan Mas Bejo – Buka Tiap Malam, Kecuali Hujan Deras”, aman-aman saja. Tapi kalau ditambah tagline “Sate Usus Terheboh di Jagat Solo Raya”, siap-siap Bapenda menganggapnya reklame dan menagih pajak lagi.
Kasus paling viral adalah ketika ada angkringan yang pajaknya sampai Rp12 juta per bulan. Warganet pun ramai:
"Ini angkringan atau cabang restoran luar negeri?”
Mas Bejo yang cuma jualan kopi jos sampai menatap bara arang, berharap setrika panasnya bisa menyetrika hatinya yang kusut.
Di DKI Jakarta, aturan sedikit lebih “ramah dompet”. Kalau omset di bawah Rp200 juta per tahun, bisa bebas pajak restoran. Tapi tentu saja, yang seperti ini bikin iri angkringan di Solo. Mereka membayangkan pindah ke Jakarta, tapi lalu sadar:
"Omset kita nggak sampai segitu, tapi pindah ke Jakarta ongkos truknya aja udah rugi."
Jadi, kalau kamu punya angkringan, jangan lupa selain menghitung harga cakar ayam dan tempe mendoan, cek juga peraturan daerah. Siapa tahu, besok-besok, saat kamu sedang meniup bara untuk wedang ronde, ada “surat cinta” dari Bapenda yang berkata manis:
"Selamat! Usaha Anda resmi membuat negara bahagia."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.