Selasa, 26 Agustus 2025

DPR, Tunjangan Rp50 Juta, dan “Revolusi Lapangan Parkir”

Jakarta, 25 Agustus 2025. Suasana ibukota mendadak berubah seperti film kolosal berjudul “Ketika Dompet Rakyat Kering, DPR Malah Banjir Tunjangan”. Ribuan demonstran, mulai dari mahasiswa, buruh, emak-emak pengajian, sampai abang ojol, tumpah ruah di jalan menolak tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR.

“Rp50 juta per bulan buat rumah? Kami aja ngekos masih harus patungan sama cicak!” teriak seorang mahasiswa sambil mengibarkan spanduk bergambar karikatur DPR sebagai developer properti.

Bentrokan pun pecah dengan polisi. Situasinya seperti throwback ke sejarah Romawi kuno: Secessio Plebis. Bedanya, kalau dulu kaum plebeian mogok lima kali buat dapet hak veto, sekarang rakyat Indonesia mogok lima kali lipat karena hak veto udah digadaikan ke konglomerat.

Seorang demonstran sejarahwan amatir mencoba menyemangati kawan-kawannya:
“Teman-teman! Ingat Revolusi Prancis! Estate Ketiga membentuk Majelis Nasional di Lapangan Tenis. Kalau kita di sini, mari kita bentuk Majelis Lapangan Parkir di Senayan! Jangan bubar sampai dapat konstitusi baru… atau minimal subsidi baru!”

Komposisi DPR pun jadi bahan lelucon. Dari 580 anggota, sebagian besar ternyata alumni Universitas Dinasti Politik dan Akademi Modal Besar. Rakyat pun berseloroh:
“DPR itu singkatannya apa? ‘Dewan Pemilik Rumah’. Makanya mereka butuh tunjangan Rp50 juta, biar rumahnya banyak dan nggak bingung mau tidur di mana!”

Tak hanya di Jakarta, di Pati, Jawa Tengah, rakyat sudah lebih dulu “pemanasan” dengan protes kenaikan pajak tanah 250%. “Kalau tanah sudah mahal, jangan-jangan nanti udara juga kena pajak per napas,” celetuk seorang petani sambil menghela napas hemat.

Wakil Ketua DPR mencoba membela diri dengan alasan klasik: “Ini demi kenyamanan kerja.” Tapi publik menukas: “Kalau mau nyaman, kerja remote aja dari rumah kontrakan, toh rapatnya sering kosong kursi juga.”

Akhirnya, setelah gelombang protes makin besar, DPR mencabut kebijakan tunjangan itu. Bukan karena sadar, tapi karena takut kalau rakyat beneran bikin Bastille 2.0 di Senayan.

Seorang mahasiswa menutup orasi dengan bijak sekaligus kocak:
“Kawan-kawan, sejarah mengajarkan… kalau rakyat lapar, mereka bisa marah. Kalau rakyat lapar tapi DPR kenyang, mereka bisa ngamuk. Tapi kalau rakyat lapar, DPR kenyang, dan masih dikasih alasan basi… ya siap-siap aja lah, revolusi bakal lahir dari perut keroncongan!
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.