Jakarta, 25 Agustus 2025. Suasana ibukota mendadak berubah
seperti film kolosal berjudul “Ketika Dompet Rakyat Kering, DPR Malah Banjir
Tunjangan”. Ribuan demonstran, mulai dari mahasiswa, buruh, emak-emak
pengajian, sampai abang ojol, tumpah ruah di jalan menolak tunjangan perumahan
Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR.
“Rp50 juta per bulan buat rumah? Kami aja ngekos masih harus
patungan sama cicak!” teriak seorang mahasiswa sambil mengibarkan spanduk
bergambar karikatur DPR sebagai developer properti.
Bentrokan pun pecah dengan polisi. Situasinya seperti throwback
ke sejarah Romawi kuno: Secessio Plebis. Bedanya, kalau dulu kaum
plebeian mogok lima kali buat dapet hak veto, sekarang rakyat Indonesia mogok
lima kali lipat karena hak veto udah digadaikan ke konglomerat.
Seorang demonstran sejarahwan amatir mencoba menyemangati
kawan-kawannya:
“Teman-teman! Ingat Revolusi Prancis! Estate Ketiga membentuk Majelis Nasional
di Lapangan Tenis. Kalau kita di sini, mari kita bentuk Majelis Lapangan
Parkir di Senayan! Jangan bubar sampai dapat konstitusi baru… atau minimal
subsidi baru!”
Komposisi DPR pun jadi bahan lelucon. Dari 580 anggota,
sebagian besar ternyata alumni Universitas Dinasti Politik dan Akademi
Modal Besar. Rakyat pun berseloroh:
“DPR itu singkatannya apa? ‘Dewan Pemilik Rumah’. Makanya mereka butuh
tunjangan Rp50 juta, biar rumahnya banyak dan nggak bingung mau tidur di mana!”
Tak hanya di Jakarta, di Pati, Jawa Tengah, rakyat sudah
lebih dulu “pemanasan” dengan protes kenaikan pajak tanah 250%. “Kalau tanah
sudah mahal, jangan-jangan nanti udara juga kena pajak per napas,” celetuk
seorang petani sambil menghela napas hemat.
Wakil Ketua DPR mencoba membela diri dengan alasan klasik:
“Ini demi kenyamanan kerja.” Tapi publik menukas: “Kalau mau nyaman, kerja
remote aja dari rumah kontrakan, toh rapatnya sering kosong kursi juga.”
Akhirnya, setelah gelombang protes makin besar, DPR mencabut
kebijakan tunjangan itu. Bukan karena sadar, tapi karena takut kalau rakyat
beneran bikin Bastille 2.0 di Senayan.
Seorang mahasiswa menutup orasi dengan bijak
sekaligus kocak:
“Kawan-kawan, sejarah mengajarkan… kalau rakyat lapar, mereka bisa marah. Kalau
rakyat lapar tapi DPR kenyang, mereka bisa ngamuk. Tapi kalau rakyat lapar, DPR
kenyang, dan masih dikasih alasan basi… ya siap-siap aja lah, revolusi bakal
lahir dari perut keroncongan!”
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.