Di jagat media sosial, reputasi itu seperti popularitas warung kopi: gampang naik kalau viral, gampang turun kalau ada gosip basi. Nah, di tengah gegap gempita trending topic, Pemred NU Online, Ivan Aulia Ahsan, melontarkan pertanyaan yang cukup menusuk: Bagaimana NU bisa tetap relevan di mata publik sekarang?
Pertanyaan ini ditangkap oleh Prof. Greg Barton, akademisi
asal Australia yang sudah akrab dengan kultur pesantren dan pernah menulis
biografi Gus Dur. Menurutnya, NU tidak perlu ikut-ikutan bikin challenge joget
di TikTok demi eksis. Resepnya justru sederhana: ingat asal-usul. NU lahir
sebagai organisasi kebangkitan ulama. Ulama itu bukan sekadar pemimpin upacara
ngaji, tapi juga produsen intelektual—pabrik otak dan hati yang
output-nya bukan hanya ijazah, tapi juga akhlak.
Greg mengingatkan, kalau pesantren sampai berhenti
beroperasi selama lima tahun, masa depan Islam Indonesia bisa ambyar. Ulama
akan menua, wafat, dan tidak ada stok pengganti. Ibarat tim sepak bola,
pemainnya cedera semua dan akademi juniornya tutup—yang tersisa cuma jersey
kenangan.
Namun, di era digital, NU bukan hanya menghadapi PR
regenerasi ulama. Ada juga ujian ekstra: isu tambang. Kata Greg, sejak 1926 NU
sudah jadi langganan kritik karena hubungan mesra dengan politik. Bedanya,
kalau dulu kritik disampaikan di warung kopi atau mimbar pengajian, sekarang
lewat thread panjang di X (Twitter), lengkap dengan meme
sindiran.
Soal tambang ini, Greg tak memungkiri ada peluang emas
(secara harfiah) untuk kemandirian ekonomi, tapi juga risiko besar—termasuk
campur tangan pihak yang ingin mengarahkan NU sesuai menu kepentingannya. Dan
di era medsos, kalau ada yang cukup kaya dan niat bikin kisruh, tinggal sewa
buzzer, bam! NU masuk trending topic.
Buat Greg, kritik itu penting—ibarat vitamin C, baik untuk
daya tahan tubuh organisasi. Tapi dosisnya harus pas. Kalau berlebihan, malah
bikin mual; kalau kurang, rawan masuk angin. Intinya, kritik boleh, tapi jangan
sampai jadi adu teriak tanpa faedah.
Maka, menurut Greg, relevansi NU tidak ditentukan oleh
seberapa sering muncul di FYP atau seberapa cepat membalas komentar nyinyir di
medsos, melainkan oleh kemampuan menjaga dapur pesantren tetap ngebul, stok
ulama tetap tersedia, dan intelektual baru terus diproduksi. Media sosial boleh
jadi arena perang meme, tapi masa depan Islam Nusantara tetap ditentukan di
kelas-kelas ngaji, bukan di kolom reply.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.