Kamis, 21 Agustus 2025

Menjadi Duyufurrahman: Hakikat Menjadi Tamu Allah yang Dicintai

Ibadah haji dan umrah adalah panggilan suci yang menjadikan seorang muslim sebagai Duyufurrahman—tamu Allah di Baitullah. Predikat ini bukan sekadar gelar spiritual, tetapi sebuah amanah besar. Menjadi tamu Allah yang dicintai-Nya tidak berhenti pada penyelesaian rangkaian ritual fisik, melainkan mencakup transformasi batin, akhlak, dan perilaku yang berkelanjutan.

1. Persiapan Sebelum Berangkat: Niat dan Bekal Ilmu

Segala amal bermula dari niat. Rasulullah SAW menegaskan, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim). Karenanya, perjalanan haji dan umrah harus dimurnikan dari segala kepentingan duniawi seperti gelar sosial, status, atau kebanggaan semata. Tujuan yang benar hanyalah ridha Allah.

Selain niat, bekal ilmu menjadi syarat mutlak. Tanpa pemahaman yang benar tentang manasik, doa, dan larangan ihram, ibadah bisa kehilangan makna atau bahkan tidak sah. Ilmu yang diperoleh dari guru, kitab, maupun aplikasi resmi akan menuntun jamaah menjalani setiap rukun dan wajib haji dengan benar.

Tidak kalah penting adalah memastikan biaya perjalanan berasal dari harta yang halal. Rezeki yang bersih menjadi syarat diterimanya ibadah. Terakhir, jamaah juga dituntut menyiapkan mental: kesabaran menghadapi keramaian, antrian, cuaca, hingga perbedaan budaya yang muncul selama perjalanan. Semua ujian ini harus dipandang sebagai bagian dari ibadah.

2. Selama Ibadah: Adab dan Akhlak di Tanah Suci

Hakikat bertamu adalah menghormati tuan rumah dan sesama tamu. Di Tanah Suci, adab ini bermakna menjaga hubungan dengan Allah sekaligus dengan manusia.

Seorang Duyufurrahman harus senantiasa bertakwa, memperbanyak zikir, dan menghidupkan lisan dengan doa. Dalam QS. Al-Hajj ayat 28, Allah menegaskan bahwa ibadah haji adalah momentum zikir kepada-Nya.

Sikap santun dan lemah lembut (rifq) juga menjadi cermin keindahan iman. Rasulullah SAW bersabda, “Kelemahlembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya indah.” (HR. Muslim). Dalam praktiknya, kelembutan terwujud dalam saling membantu, memberi arahan kepada yang kesulitan, serta tidak menyakiti sesama jamaah.

Jamaah haji dan umrah juga dituntut menjauhi perbuatan tercela seperti gossip, pertengkaran, atau perkataan kotor (rafats), sebagaimana dilarang dalam QS. Al-Baqarah ayat 197. Ujian kesabaran sangat nyata: panasnya cuaca, panjangnya antrian, serta kepadatan jamaah. Namun, kesabaran inilah yang justru mengangkat derajat seorang hamba.

Ketawadhu’an (kerendahan hati) juga sangat ditekankan. Di Tanah Suci, semua manusia sama di hadapan Allah—tidak ada bedanya antara pejabat dan rakyat, kaya maupun miskin. Identitas duniawi seharusnya luruh, diganti dengan ikatan iman dan persaudaraan.

3. Setelah Pulang: Transformasi Pasca-Haji dan Umrah

Indikator keberhasilan ibadah haji dan umrah justru terlihat setelah jamaah kembali ke tanah air. Ibadah yang diterima, atau mabrur, tercermin dari perubahan perilaku. Rasulullah SAW bersabda, “Haji yang mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain Surga.” (HR. Bukhari & Muslim).

Perubahan tersebut tampak dalam konsistensi ibadah, kepedulian sosial, dan peran aktif dalam amar ma’ruf nahi munkar. Seorang yang baru pulang haji seharusnya lebih peduli pada keluarga, tetangga, dan masyarakat. Silaturahmi diperkuat, konflik dihindari, dan kasih sayang disebarkan.

Selain itu, jamaah dituntut menjaga kesyukuran melalui zikir yang berkelanjutan. Setiap langkah hidup pasca-haji seharusnya dipenuhi dengan rasa terima kasih atas kesempatan besar yang Allah berikan untuk menjadi tamu-Nya.

Kesimpulan

Menjadi Duyufurrahman yang dicintai Allah bukanlah tujuan yang berhenti pada selesai atau tidaknya ritual fisik haji dan umrah. Lebih dari itu, ia adalah proses panjang menuju transformasi spiritual. Dari niat yang ikhlas, ilmu yang benar, akhlak mulia di Tanah Suci, hingga perubahan perilaku setelah kembali ke tanah air, semuanya menjadi satu kesatuan.

Haji dan umrah adalah sekolah spiritual yang melatih seorang muslim untuk hidup dalam ketaatan, kelembutan, dan kepedulian. Dengan demikian, seorang tamu Allah yang sejati adalah mereka yang pulang dengan membawa oleh-oleh akhlak mulia, bukan sekadar air zamzam dan kurma.

Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita untuk menjadi tamu-Nya, menerima amal ibadah kita, serta menjadikan kita pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Aamiin.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.