Di Indonesia, kurikulum sekolah punya nasib yang mirip dengan tren busana: tiap kali ada menteri baru, modelnya ikut berubah. Kalau di Paris ada fashion week, di Jakarta ada curriculum week. Guru-guru pun seperti peragawan dan peragawati dadakan yang harus siap ganti kostum tiap lima tahun sekali. Bedanya, kalau di catwalk salah kostum masih bisa dibilang “eksperimen seni”, di kelas salah kurikulum bisa bikin murid bingung mau jadi insinyur atau malah jadi konten kreator.
Prof Unifah Rosyidi dari PGRI sampai geleng-geleng kepala. Beliau menegaskan bahwa kurikulum seharusnya lahir dari kajian akademik, bukan dari ego pejabat yang ingin meninggalkan “legacy”. Masalahnya, di negeri ini, setiap menteri ingin punya monumen. Ada yang bikin jembatan, ada yang bikin bandara, nah menteri pendidikan bikin kurikulum baru. Padahal, monumen yang satu ini lebih cepat usang ketimbang gedung DPR—karena tiap lima tahun sudah ganti wajah.
Guru di daerah pun jadi korban utama. Bayangkan, mereka baru saja selesai pelatihan kurikulum lama, tiba-tiba kurikulum baru turun seperti hujan deras di musim kemarau. Fasilitas tidak merata, internet tidak sampai, tapi guru diminta siap adaptasi. Seolah-olah guru itu bukan manusia, melainkan robot serba bisa. Kalau ditanya pemerintah, jawabannya sederhana: “Kan guru itu pintar.” Ya pintar, tapi bukan dukun.
Tak ketinggalan, Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim, mengingatkan agar kebijakan mengacu pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Masalahnya, peta itu sering hanya jadi hiasan dinding, bukan GPS. Akibatnya, perjalanan pendidikan kita lebih mirip petualangan Dora: “Di mana kurikulumnya? Di mana grand design-nya?” Sayangnya, tidak ada Boots si monyet yang bisa bantu cari jalan.
Sementara itu, Rektor UGM Prof Ova Emilia menilai grand design pendidikan kita gagal total, terbukti dengan meningkatnya pengangguran. Rupanya, bukan hanya kurikulum yang sering gonta-ganti, tapi juga status lulusan: dari “mahasiswa harapan bangsa” menjadi “pengangguran berprestasi.” Negara lain sudah hitung berapa dokter, insinyur, atau tukang listrik yang dibutuhkan. Kita? Lebih suka hitung berapa kali ganti kurikulum dalam sepuluh tahun terakhir.
Pada akhirnya, pendidikan kita masih terjebak dalam pola pikir kolonial: mendidik untuk melayani atasan, bukan kebutuhan rakyat. Jadi wajar kalau lulusan pertanian lebih ahli bikin proposal daripada menanam padi.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti memperlakukan kurikulum seperti fashion line. Karena di dunia pendidikan, murid bukanlah model catwalk, dan guru bukan desainer dadakan. Kalau masih terus begini, jangan kaget kalau suatu saat nanti ada “Kurikulum Musim Panas 2030” lengkap dengan katalog dan diskon akhir tahun.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.