Selasa, 12 Agustus 2025

Porogapet vs Deep Learning: Dari Kapur Tulis ke Cloud Computing


Di masa lalu, sebelum kata
“AI” populer dan sebelum Python jadi nama bahasa pemrograman (bukan cuma ular), ada satu teknologi canggih yang mengasah otak anak sekolah: Porogapet.
Bagi generasi mbah kita, ini adalah seni membagi angka panjang secara manual, pakai pensil, kertas, dan sedikit ancaman tatapan guru.
Bagi generasi sekarang? Porogapet terdengar seperti nama menu sate di pinggir jalan.

Lucunya, kalau kita mau tarik benang merahnya, porogapet dan deep learning itu saudara jauh beda zaman.
Keduanya sama-sama “cara otak bekerja memecahkan masalah” — hanya beda generasi dan medium.
Bedanya, porogapet memecah angka pembagian, deep learning memecah data dan pola.

Kalau porogapet ibarat workshop kayu di garasi, deep learning adalah pabrik otomatis berisi robot pintar.
Tapi logika dasarnya sama: kerja step-by-step sampai masalah selesai.
Yang satu pakai teh panas dan ubi rebus, yang satu pakai listrik dan kipas server.

Tabel Perbandingan: Porogapet vs Deep Learning

Aspek

Porogapet (Zaman Mbah)

Deep Learning (Zaman AI)

Era

Kapur tulis & tinta merah

Server GPU & cloud computing

Tujuan

Membagi angka dengan logika manual

Mengenali pola & memprediksi hasil dari data

Media

Buku tulis bergaris, meja kayu

Dataset raksasa, kode Python

“Neuron”

Otak cucu yang digeplak Mbah kalau salah hitung

Jutaan node di jaringan saraf buatan

Proses

Step-by-step, coret-coret sampai hasil pas

Forward pass, backpropagation sampai loss kecil

Sumber energi

Teh panas & ubi rebus

Listrik & kipas pendingin server

Hasil akhir

Jawaban 100% logis dan dimengerti manusia

Jawaban tepat… kadang tanpa tahu “kenapa”

Risiko

Tangan pegal & buku penuh titik merah

Bias algoritma & penggunaan data yang salah

Nilai plus

Melatih logika & kesabaran

Mempercepat analisis dan otomatisasi

Nilai nostalgia

Tinggi, bikin ingat zaman sekolah

Rendah… kecuali kalau servernya bunyi kayak mesin jahit

Relevansi Keduanya

Porogapet melatih manusia berpikir logis, terutama di daerah yang belum mengandalkan kalkulator atau AI.
Deep learning membantu memproses data raksasa yang manusia tak mungkin selesaikan manual.
Ironisnya, kalau generasi sekarang terlalu mengandalkan AI, fondasi logika ala porogapet bisa hilang.
Padahal deep learning sendiri, di intinya, tetap dibangun di atas logika dasar yang sama — hanya saja dalam skala raksasa dan otomatis.

Kesimpulan:
Porogapet adalah deep learning-nya mbah-mbah kita — versi analog, tinta merah, dan aroma nostalgia.
Bedanya, waktu porogapet, kalau salah hitung paling cuma dapat tatapan maut guru.
Kalau deep learning salah… bisa-bisa saham perusahaan anjlok.

Jadi, sebelum kita ajari mesin berpikir pintar, jangan lupa latih dulu otak kita sendiri. Siapa tahu, suatu hari nanti server AI juga butuh minum teh panas dan makan ubi rebus biar tetap stabil.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.