Bayangkan Indonesia berumur 80 tahun: kalau manusia, mungkin sudah pakai tongkat, suka cerita masa muda, dan kalau lupa sesuatu tinggal bilang, “Wajar, namanya juga sepuh.” Tapi anehnya, Indonesia justru makin sibuk tampil kece di panggung global. Seperti kakek-kakek ikut lomba TikTok—bukan kalah, malah trending.
Nah, di balik semua ini, ada NU. Dari dulu sampai sekarang,
NU ini ibarat sahabat setia Indonesia. Waktu baru merdeka, NU langsung kasih
“Resolusi Jihad”—semacam surat cinta yang isinya, “Ayo lawan penjajah, jangan
cuma rebahan!” Hasilnya? Surabaya panas kayak konser metal: rakyat bakar
semangat, penjajah kebakaran jenggot.
Setelah itu, NU sempat bilang, “Oke deh, kita fokus dulu
urus dapur rumah tangga Indonesia. Soalnya, negara baru ini ibarat bayi:
gampang nangis, gampang sakit, dan butuh banyak susu (baca: dana pembangunan).”
Jadi, NU jaga harmoni sosial, bikin suasana adem.
Eh, tapi lama-lama dunia makin ribut. Ada radikalisme lintas
negara, krisis iklim, sampai konflik sana-sini. NU mikir, “Kalau diem aja, kita
kayak penonton sinetron yang nggak pernah ikut adegan. Mending sekalian jadi
pemain tambahan, siapa tahu dapat peran utama.”
Lahirlah ide ciamik: civilizational diplomacy alias
“diplomasi peradaban.” Intinya, NU bawa Islam ala Nusantara ke panggung global.
Jadi bukan cuma ngomong “kita cinta damai,” tapi juga bikin forum keren
kayak Religion of Twenty (R20). Di situ, NU kayak MC acara hajatan
dunia: ngajak semua agama duduk bareng, bukan debat kusir, tapi makan bareng.
Teori hubungan internasional yang dipakai NU
namanya “konstruktivisme.” Intinya, dunia itu bukan sekadar rebutan harta dan
kuasa, tapi juga soal identitas dan norma. Kalau kata NU, “Kita ini Ahlussunnah
wal Jamaah an-Nahdliyah, bro. Jadi harus moderat, adil, seimbang, dan toleran.”
Singkatnya: jangan baperan, jangan kebanyakan drama, dan jangan suka nuduh
tetangga.
Tapi ya, jadi pemain global itu susah. Kadang NU harus
diplomasi sama pihak yang nilai-nilainya nggak nyambung. Itu kayak ngajak
kucing dan anjing duduk bareng: bisa sih, asal ada ikan tongkol di meja.
Tantangan lain, jangan sampai NU cuma dipakai jadi gimmick politik. Soalnya,
“Islam moderat” itu harus beneran jalan, bukan sekadar tagline biar dapat like
internasional.
Makanya NU bikin konsep baru: Resolusi Peradaban. Kalau
dulu Resolusi Jihad itu soal merdeka fisik, sekarang Resolusi Peradaban itu
soal merdeka nilai. Indonesia nggak boleh jadi negara yang pamer gedung tinggi
tapi moralnya pendek. Nggak boleh juga jago bikin aplikasi canggih, tapi
gampang nyebar hoaks.
Intinya, NU ingin ngajarin dunia bahwa membangun peradaban
itu bukan cuma soal “punya nuklir atau nggak,” tapi juga soal bisa nggak kita
nahan ego demi hidup bareng dengan damai. Kalau kata kiai kampung, “Hidup itu
bukan siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling ikhlas.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.