Selasa, 19 Agustus 2025

NU dan Indonesia 80 Tahun: Dari Resolusi Jihad ke Resolusi “Santuy”

Bayangkan Indonesia berumur 80 tahun: kalau manusia, mungkin sudah pakai tongkat, suka cerita masa muda, dan kalau lupa sesuatu tinggal bilang, “Wajar, namanya juga sepuh.” Tapi anehnya, Indonesia justru makin sibuk tampil kece di panggung global. Seperti kakek-kakek ikut lomba TikTok—bukan kalah, malah trending.

Nah, di balik semua ini, ada NU. Dari dulu sampai sekarang, NU ini ibarat sahabat setia Indonesia. Waktu baru merdeka, NU langsung kasih “Resolusi Jihad”—semacam surat cinta yang isinya, “Ayo lawan penjajah, jangan cuma rebahan!” Hasilnya? Surabaya panas kayak konser metal: rakyat bakar semangat, penjajah kebakaran jenggot.

Setelah itu, NU sempat bilang, “Oke deh, kita fokus dulu urus dapur rumah tangga Indonesia. Soalnya, negara baru ini ibarat bayi: gampang nangis, gampang sakit, dan butuh banyak susu (baca: dana pembangunan).” Jadi, NU jaga harmoni sosial, bikin suasana adem.

Eh, tapi lama-lama dunia makin ribut. Ada radikalisme lintas negara, krisis iklim, sampai konflik sana-sini. NU mikir, “Kalau diem aja, kita kayak penonton sinetron yang nggak pernah ikut adegan. Mending sekalian jadi pemain tambahan, siapa tahu dapat peran utama.”

Lahirlah ide ciamik: civilizational diplomacy alias “diplomasi peradaban.” Intinya, NU bawa Islam ala Nusantara ke panggung global. Jadi bukan cuma ngomong “kita cinta damai,” tapi juga bikin forum keren kayak Religion of Twenty (R20). Di situ, NU kayak MC acara hajatan dunia: ngajak semua agama duduk bareng, bukan debat kusir, tapi makan bareng.

Teori hubungan internasional yang dipakai NU namanya “konstruktivisme.” Intinya, dunia itu bukan sekadar rebutan harta dan kuasa, tapi juga soal identitas dan norma. Kalau kata NU, “Kita ini Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah, bro. Jadi harus moderat, adil, seimbang, dan toleran.” Singkatnya: jangan baperan, jangan kebanyakan drama, dan jangan suka nuduh tetangga.

Tapi ya, jadi pemain global itu susah. Kadang NU harus diplomasi sama pihak yang nilai-nilainya nggak nyambung. Itu kayak ngajak kucing dan anjing duduk bareng: bisa sih, asal ada ikan tongkol di meja. Tantangan lain, jangan sampai NU cuma dipakai jadi gimmick politik. Soalnya, “Islam moderat” itu harus beneran jalan, bukan sekadar tagline biar dapat like internasional.

Makanya NU bikin konsep baru: Resolusi Peradaban. Kalau dulu Resolusi Jihad itu soal merdeka fisik, sekarang Resolusi Peradaban itu soal merdeka nilai. Indonesia nggak boleh jadi negara yang pamer gedung tinggi tapi moralnya pendek. Nggak boleh juga jago bikin aplikasi canggih, tapi gampang nyebar hoaks.

Intinya, NU ingin ngajarin dunia bahwa membangun peradaban itu bukan cuma soal “punya nuklir atau nggak,” tapi juga soal bisa nggak kita nahan ego demi hidup bareng dengan damai. Kalau kata kiai kampung, “Hidup itu bukan siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling ikhlas.”

Jadi, menjelang usia 80 tahun, Indonesia dan NU punya PR besar: apakah mau jadi “penonton setia dunia” atau “sutradara peradaban global”? Karena kalau cuma ikut-ikutan, ya sama aja kayak kakek-nenek main TikTok tapi cuma nonton—nggak bakal trending.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.