Di dunia teknologi, deep learning biasanya bikin orang membayangkan robot pintar yang bisa mengenali wajah kucing Anda atau menulis puisi patah hati. Tapi di buku “Making Deep Learning a Momentum Maker”, deep learning bukan sekadar urusan mesin, melainkan urusan manusia. Bayangkan: bukan hanya komputer yang diajari berpikir dalam, tapi juga anak-anak, guru, orang tua, bahkan tetangga sebelah yang suka nyinyir soal PR anak.
Bedanya dengan inovasi pendidikan lain? Kalau biasanya kita
dapat “program baru” yang isinya cuma ganti cover buku paket dan mengganti kata
“murid” jadi “peserta didik”, di sini ada misi global: membentuk 6 kompetensi—character,
citizenship, collaboration, communication, creativity, dan critical
thinking. Singkatnya, biar anak-anak kita tidak cuma jago hafal rumus, tapi
juga tahu kapan harus kerja sama, kapan harus bertanya, dan kapan harus
berhenti main HP di kelas.
Pendekatan ini katanya melibatkan semua: siswa, guru,
keluarga, dan masyarakat. Jadi kalau ada yang malas belajar, mungkin bukan cuma
anaknya yang dipanggil BP, tapi sekalian bapaknya, ibunya, dan mungkin ketua
RT. Tujuannya? Pemerataan dan keunggulan untuk semua. Tidak ada lagi cerita
“yang pintar makin pintar, yang bingung makin bingung”—semua harus naik level
bareng-bareng.
Buku ini juga memberi peringatan penting: hati-hati sama
tren pendidikan yang cuma “wah” di awal tapi melempem di tengah jalan. Seperti
kursus bahasa asing yang semangatnya cuma sampai level 2, atau program “kelas
digital” yang ujung-ujungnya cuma dipakai buat main Candy Crush.
Kesimpulannya, deep learning versi ini bukan cuma
mengubah cara belajar, tapi juga mengubah kita semua jadi lebih peka, kreatif,
dan… mudah-mudahan, lebih sabar menghadapi ujian hidup—baik yang bentuknya soal
pilihan ganda, maupun soal cicilan bulanan.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.