Petani dan Ayam yang Tersenyum
Dengan adanya MBG, petani sayur di desa tak lagi cemas kalau
sawi mereka layu di ladang. Setiap ikat sayur sudah punya takdir mulia: masuk
ke piring anak sekolah. Peternak ayam pun mendadak jadi selebritas.
Ayam-ayamnya yang tadinya cuma berkokok untuk alarm kampung, kini bertugas
sebagai “pahlawan protein nasional.” Telur mereka terbang ke kantin sekolah,
bikin anak-anak lebih pintar dan guru lebih bahagia karena kelas jadi penuh
energi—meski kadang terlalu energik saat jam olahraga.
UMKM pengolah tempe dan tahu juga kebagian berkah. Mereka
bisa produksi tanpa takut dagangan basi karena sekarang ada antrean panjang:
dari kantin sekolah, dapur desa, sampai truk logistik yang sibuk bolak-balik
seperti ojek online di jam makan siang.
Ekonomi Desa Jadi Lapangan Bola
Efek MBG ini seperti bola liar di lapangan: semua orang
dapat giliran menendang dan ikut bermain. Lahan tidur yang tadinya cuma jadi
tempat kambing nongkrong kini berubah jadi kebun cabai dan kolam ikan. Investor
lokal pun ikut-ikutan, berharap duit mereka beranak pinak sambil menanam
kangkung. Bahkan logistik desa jadi hidup—truk kecil, becak, hingga sepeda
motor ikut mengantar nasi, sayur, dan ayam goreng.
Tantangan: Uang Siapa yang Bayar Semua Ini?
Nah, inilah bagian yang biasanya bikin pejabat garuk-garuk
kepala: biaya. Kalau 25 juta anak diberi makan Rp10.000 per hari, anggaran bisa
tembus Rp7,5 triliun per bulan. Angka ini cukup buat bikin bendahara negara
spontan ingin ikut lomba tarik napas panjang.
Solusinya? Pemerintah bisa patungan dari APBN, APBD, sampai
Dana Desa. Perusahaan swasta dan BUMN ikut urunan lewat CSR, sementara lembaga
internasional seperti UNICEF mungkin sesekali mengirimkan “amplop cinta.”
Bahkan masyarakat bisa ikut gotong royong, entah lewat zakat, crowdfunding,
atau patungan online—siapa tahu ada donatur dermawan yang ingin namanya
diabadikan di panci dapur sekolah.
Agar uangnya tidak “tersesat” di jalan, teknologi blockchain
bisa dipakai. Dengan begitu, setiap butir beras bisa dilacak perjalanannya:
dari gudang Bulog sampai jadi nasi uduk di piring bocah SD.
Kesimpulan yang Kenyang
MBG bukan sekadar soal makan gratis, tapi tentang bagaimana
nasi, telur, dan sayur bisa jadi alat pemberdayaan ekonomi lokal. Petani
tersenyum, anak sekolah bersemangat, dan kepala desa ikut sumringah karena
lahan tidur jadi produktif. Kalau program ini jalan terus, bukan cuma stunting
yang hilang, tapi juga stres para petani dan pedagang kecil.
Jadi, lain kali kalau melihat anak SD melompat-lompat
setelah makan gratis, ingatlah: itu bukan sekadar energi gula, tapi tanda
ekonomi desa sedang menari.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.