Senin, 04 Agustus 2025

Makan Gratis, Ekonomi Ikut Menari



Bayangkan jika setiap pagi, anak-anak sekolah di pelosok Indonesia berbaris bukan hanya untuk hormat bendera, tapi juga untuk menunggu sepiring nasi hangat, sayur, dan telur ceplok yang aromanya bikin semut pun ingin mendaftar jadi murid. Itulah visi dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah program yang bukan hanya bikin perut kenyang, tapi juga bikin ekonomi lokal ikut jingkrak-jingkrak kegirangan.

Petani dan Ayam yang Tersenyum

Dengan adanya MBG, petani sayur di desa tak lagi cemas kalau sawi mereka layu di ladang. Setiap ikat sayur sudah punya takdir mulia: masuk ke piring anak sekolah. Peternak ayam pun mendadak jadi selebritas. Ayam-ayamnya yang tadinya cuma berkokok untuk alarm kampung, kini bertugas sebagai “pahlawan protein nasional.” Telur mereka terbang ke kantin sekolah, bikin anak-anak lebih pintar dan guru lebih bahagia karena kelas jadi penuh energi—meski kadang terlalu energik saat jam olahraga.

UMKM pengolah tempe dan tahu juga kebagian berkah. Mereka bisa produksi tanpa takut dagangan basi karena sekarang ada antrean panjang: dari kantin sekolah, dapur desa, sampai truk logistik yang sibuk bolak-balik seperti ojek online di jam makan siang.

Ekonomi Desa Jadi Lapangan Bola

Efek MBG ini seperti bola liar di lapangan: semua orang dapat giliran menendang dan ikut bermain. Lahan tidur yang tadinya cuma jadi tempat kambing nongkrong kini berubah jadi kebun cabai dan kolam ikan. Investor lokal pun ikut-ikutan, berharap duit mereka beranak pinak sambil menanam kangkung. Bahkan logistik desa jadi hidup—truk kecil, becak, hingga sepeda motor ikut mengantar nasi, sayur, dan ayam goreng.

Tantangan: Uang Siapa yang Bayar Semua Ini?

Nah, inilah bagian yang biasanya bikin pejabat garuk-garuk kepala: biaya. Kalau 25 juta anak diberi makan Rp10.000 per hari, anggaran bisa tembus Rp7,5 triliun per bulan. Angka ini cukup buat bikin bendahara negara spontan ingin ikut lomba tarik napas panjang.

Solusinya? Pemerintah bisa patungan dari APBN, APBD, sampai Dana Desa. Perusahaan swasta dan BUMN ikut urunan lewat CSR, sementara lembaga internasional seperti UNICEF mungkin sesekali mengirimkan “amplop cinta.” Bahkan masyarakat bisa ikut gotong royong, entah lewat zakat, crowdfunding, atau patungan online—siapa tahu ada donatur dermawan yang ingin namanya diabadikan di panci dapur sekolah.

Agar uangnya tidak “tersesat” di jalan, teknologi blockchain bisa dipakai. Dengan begitu, setiap butir beras bisa dilacak perjalanannya: dari gudang Bulog sampai jadi nasi uduk di piring bocah SD.

Kesimpulan yang Kenyang

MBG bukan sekadar soal makan gratis, tapi tentang bagaimana nasi, telur, dan sayur bisa jadi alat pemberdayaan ekonomi lokal. Petani tersenyum, anak sekolah bersemangat, dan kepala desa ikut sumringah karena lahan tidur jadi produktif. Kalau program ini jalan terus, bukan cuma stunting yang hilang, tapi juga stres para petani dan pedagang kecil.

Jadi, lain kali kalau melihat anak SD melompat-lompat setelah makan gratis, ingatlah: itu bukan sekadar energi gula, tapi tanda ekonomi desa sedang menari.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.