John Bolton mungkin satu-satunya orang di dunia yang berhasil menulis buku setebal hampir 600 halaman hanya untuk memberitahu publik: “Donald Trump itu spontan, bingung, tapi pede luar biasa.” Persis seperti anak SMA yang masuk ujian matematika tanpa belajar, lalu tetap yakin nilainya A+—asal gurunya bisa dibujuk makan siang bareng.
Bolton menamakan bukunya The Room Where It Happened, padahal setelah dibaca, kesannya lebih cocok diberi judul: The Room Where Everyone Facepalmed.
Politik ala Reality Show
Menurut Bolton, diplomasi ala Trump mirip sinetron Ramadan: penuh kejutan, plot twist, dan kadang tidak masuk akal. Contohnya, saat Trump meminta Xi Jinping membeli kedelai Amerika demi suara petani. Strategi ini sederhana: “Beli tempe, dapat White House.”
Lalu soal Korea Utara, KTT Singapura 2018 ternyata bukan negosiasi serius, melainkan lebih ke “konser persahabatan” antara Trump dan Kim Jong-un. Mike Pompeo bahkan mencatat bahwa peluang suksesnya = nol besar. Tapi, seperti biasa, Trump tetap optimis. Kalau bisa sukses jual dasi di televisi, masa gagal jual perdamaian?
Trump dan Peta Dunia
Salah satu bagian paling komedi adalah ketika Bolton menulis bahwa Trump tidak tahu Finlandia bukan bagian dari Rusia. Bayangkan presiden negara adidaya yang tiap pagi dikasih nuclear code, tapi peta dunia saja bikin bingung. Mungkin dalam pikirannya, dunia ini cuma terdiri dari: Amerika, China, Rusia, dan lapangan golf pribadinya.
Belum cukup, Trump juga kaget mendengar Inggris punya senjata nuklir. “Really? Inggris? Tapi aksen mereka kan sopan sekali!”
Venezuela itu Bagian dari AS?
Di bagian lain, Trump menyebut Venezuela sebagai bagian dari Amerika Serikat. Kalau betul begitu, berarti kita tinggal tunggu Starbucks di Caracas ganti papan nama jadi “Starbucks Texas Selatan.”
Bolton vs. Washington
Tentu, pemerintah AS panik. Bagi mereka, buku Bolton seperti anak kos yang tiba-tiba buka rahasia dapur: siapa suka nyolong lauk, siapa suka ngutang pulsa, siapa diam-diam pacaran dengan RT sebelah. DOJ menggugat Bolton karena membocorkan “rahasia negara.”
Tapi rakyat Amerika malah semangat membeli bukunya. Minggu pertama saja, terjual 780.000 eksemplar. Bayangkan, lebih laku daripada buku resep masakan. Rupanya, gosip di Gedung Putih lebih gurih daripada resep ayam goreng.
Babak Lanjutan: FBI Turun Tangan
Lucunya, meski kasus sempat ditutup tahun 2021, pada 2025 FBI kembali menggerebek rumah Bolton. Seolah-olah Washington berkata: “Pak Bolton, buku Anda bukan cuma bestseller, tapi juga best-suspicious.”
Kalau ini drama, mungkin season barunya diberi judul: The Room Where It Got Raided.
Kesimpulan
Akhirnya kita bisa simpulkan: buku Bolton ini bukan sekadar
memoar, tapi campuran unik antara thriller politik, komedi situasi, dan gosip
kantor versi internasional. Yang jelas, satu pelajaran penting: jika ingin
menjaga rahasia, pastikan jangan pernah undang John Bolton ke ruangan tempat
itu “terjadi.” Karena cepat atau lambat, ruangan itu akan masuk toko buku.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.