Kamis, 07 Agustus 2025

Ibu, Tulang Ikan, dan Doa-doa yang Tak Pernah Libur


Di dunia per-ibu-an, ada satu prinsip hidup yang tak tertulis namun sangat sakral: ibu selalu makan bagian yang paling tidak menggoda selera. Di masa kecil, dia sudah dilatih keras oleh semesta untuk mencintai kepala ikan, tulang, atau bagian ekor yang hanya cocok untuk mainan kucing. Semua itu demi satu tujuan mulia: menyisakan daging untuk orang lain, terutama orang tua yang waktu itu entah mengapa selalu lapar.

Namun, begitu dewasa dan punya anak sendiri, ibu tidak membalas dendam. Ia tidak lalu berkata, "Dulu saya cuma makan tulang, sekarang giliran kalian!" Tidak. Ia justru naik level: semua daging diserahkan ke anak-anaknya, dan dia kembali ke tulang. Seolah-olah lidahnya sudah tidak mengerti nikmatnya lemak gurih ikan tenggiri. Katanya, "Yang penting anak-anak kenyang." Padahal, kenyangnya anak-anak itu kadang cuma bertahan sampai dua jam—lalu minta jajan lagi.

Waktu terus berjalan. Ibu yang dulunya sibuk menyiapkan bekal dan mencuci baju sekolah, sekarang sibuk… mengingat nama-nama anaknya sendiri yang makin jarang pulang. Dulu anak-anak rebutan duduk di pangkuannya, sekarang ia lebih sering duduk sendirian, ditemani teko air panas dan televisi yang volumenya harus diatur ke level konser metal karena pendengarannya sudah pensiun dini.

Ironisnya, ketika cucu datang, ibu kembali pada takdir lama: hanya kebagian tulang. Tapi kali ini bukan ikan, melainkan perhatian. Semua perhatian anak-anaknya kini tercurah pada anak-anak mereka. Ibu tersenyum sambil berkata, “Cucu itu rezeki,” meski dalam hati ia ingin sedikit rezeki berupa obrolan lima menit tanpa disela teriakan, “Ma, anakku pup di celana!”

Namun, alih-alih galau atau bikin status di Facebook dengan font warna-warni bertuliskan “Anak durhaka,” ibu kita justru menemukan ketenangan baru: shalat berjamaah, dzikir, dan duduk lama di musala. Ia sudah tidak tertarik nonton sinetron penuh konflik rumah tangga, karena ia sudah lulus ujian kehidupan level: mengasuh lima anak, tiga cucu, dan satu kucing liar yang tiap hari numpang makan.

Lima waktu shalat? Kurang. Ia minta ‘ekstra time’ di antara adzan dan iqamah, karena hanya di sana ia merasa paling dihargai: Allah selalu mendengarkan, tak pernah menyuruhnya menunggu di ruang tamu karena lagi zoom meeting.

Maka, wahai anak-anak yang sedang membaca esai ini sambil nyeruput kopi dari Starbucks dan lupa nelpon ibu dua minggu, ingatlah: ibu tidak minta dibalas, cukup ditelepon. Dan kalau bisa, jangan cuma nelpon waktu butuh ditransfer.

Karena tulang ikan itu, walaupun murah, penuh cinta. Dan cinta itu, walau sering dilupakan, tetap hadir… meskipun cuma lewat doa diam-diam di antara dua sujud.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.