Di papan tulis, ia menulis rumus gravitasi dengan penuh percaya diri. Tapi entah kenapa, lima menit kemudian topiknya sudah pindah ke "bagaimana entropi mirip dengan kamar kos mahasiswa menjelang akhir semester."
Bagi sebagian murid, ini aneh. Bukankah tugas guru fisika
itu menjelaskan rumus, memberi contoh soal, lalu mengoreksi PR? Tapi guru ini
punya ambisi lebih besar: ia ingin murid-muridnya mengerti bahwa fisika bukan
sekadar hafalan simbol, melainkan drama epik tentang manusia yang mencoba
mengerti alam semesta—dengan segala kegagalan dan salah pahamnya.
Guru yang Nggak Betah Jadi Robot Kurikulum
Ia tahu, jadi guru itu bisa sekadar membaca buku paket dari
halaman 1 sampai 200, lalu selesai. Tapi baginya, itu seperti masak mie instan
tanpa bumbu—sudah kenyang, tapi hambar. Ia ingin muridnya paham bahwa di balik F=maF
= maF=ma ada Isaac Newton yang mungkin dulu juga pernah pusing seperti mereka,
dan di balik teori relativitas ada Einstein yang rambutnya acak-acakan bukan
karena gaya, tapi karena mikirin waktu yang bisa melar.
Kadang muridnya bingung. Mereka datang untuk belajar fisika,
tapi pulang membawa pertanyaan eksistensial seperti, "Kalau waktu itu
relatif, kenapa jam pelajaran fisika terasa lebih lama?"
Menjelma Jadi Filsuf Setengah Matang
Kampus dulu memberinya teori-teori hebat, tapi jarang
mengajarkan bahwa sains itu berkembang lewat bantahan, debat, dan kadang… ego
penemunya. Jadi ia tambahkan bumbu sendiri: membicarakan sejarah penemuan,
intrik intelektual, bahkan gosip saintifik. Misalnya, ketika mengajar mekanika
kuantum, ia membocorkan bahwa Einstein sebenarnya tidak terlalu suka dengan ide
“Tuhan bermain dadu” dari fisika kuantum—dan muridnya langsung mengira ini
materi ujian.
Pendidikan Bukan Penjara Rumus
Ia percaya, kurikulum itu penting… tapi pikiran yang bebas
jauh lebih penting. Jadi kalau ada murid yang nekat bertanya, “Pak, kalau
gravitasi hilang, kita bisa terbang nggak?”—ia tidak menjawab singkat. Ia malah
mengajak diskusi setengah jam, yang akhirnya membuat bel masuk kelas berikutnya
telat dipakai.
Baginya, ujian hanyalah satu bab kecil. Bab besar dalam
pendidikan adalah ketika muridnya bisa berkata, “Saya tidak tahu… tapi saya mau
cari tahu.”
Dan mungkin, di situlah letak perbedaan antara guru biasa
dan guru yang rela keluar jalur demi memantik pikiran.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.