Indonesia sudah berumur 80 tahun merdeka. Usia yang, kalau manusia, biasanya diperingati dengan potong tumpeng, cucu berebut amplop, dan dokter berpesan “jangan banyak makan santan, Pak.” Tapi untuk republik ini, usia 80 justru jadi momen introspeksi: ternyata urusan pendidikan masih seperti PR Matematika kelas 5 SD—sudah dikerjakan berkali-kali, tetap saja salah jawabannya.
Data BPS menunjukkan anak-anak SD hampir semua masuk
sekolah. Hebat! Tapi begitu naik SMP, jumlahnya menurun. Lanjut ke SMA, semakin
menyusut. Sampai perguruan tinggi? Wah, tinggal segelintir saja. Ibarat drama
sinetron, banyak yang rajin ikut episode awal, tapi makin lama makin banyak
yang “keluar dari cerita.”
Ada daerah yang lama sekolahnya 11 tahun, ada juga yang baru
5 tahun. Jadi kalau di Jakarta anak-anak sudah sibuk belajar coding, di Daerah Pegunungan mungkin masih asyik belajar hitung ayam. Ketimpangan ini bikin
pusing, seperti main kartu UNO tapi satu pemain dikasih 7 kartu, yang lain
dikasih 70. Bagaimana mau adil?
Solusinya, kata wakil rakyat, adalah reformasi pendidikan:
mulai dari beasiswa, guru melek digital, sampai infrastruktur internet di
pelosok. Semua terdengar keren. Hanya saja, rakyat kadang skeptis. Soalnya,
tiap tahun reformasi pendidikan diumumkan dengan khidmat, tapi hasilnya sering
hanya reformasi “cover buku LKS”: ganti sampul, isinya tetap.
Pendidikan sejati, katanya, harus memerdekakan. Jangan
sampai anak-anak hanya jadi mesin hafalan yang pintar menjawab soal ujian, tapi
bingung saat ditanya “cita-cita kamu apa?” lalu jawabnya: “Yang gampang dapat
kerja, Pak.”
Maka, di usia 80 tahun ini, pendidikan Indonesia ibarat
murid yang rajin ikut upacara tapi belum pernah setor PR. Merdeka sih merdeka,
tapi PR tetap menumpuk di meja guru.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.